Mohon tunggu...
Noer Syabilah Ramadyni
Noer Syabilah Ramadyni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Saya seorang mahasiswa yang hobi membaca dan menulis. Saya tertarik pada segala hal dalam bidang kepenulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Dugaan Politik Dinasti: Keresahan Masyarakat Terkait Gibran

8 Januari 2024   02:59 Diperbarui: 8 Januari 2024   02:59 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam beberapa minggu terakhir, masyarakat semakin resah menyikapi dugaan politik dinasti yang terkait dengan Gibran Rakabuming, putra sulung Presiden Joko Widodo. Berbagai pandangan dan pendapat bermunculan, menciptakan sorotan publik yang signifikan.

Gibran Rakabuming adalah putra sulung dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ibu Iriana Jokowi. Lahir pada 1 Oktober 1988 di Solo, Jawa Tengah, Gibran tumbuh dalam lingkungan keluarga yang penuh dengan dinamika politik sejak ayahnya terjun ke dunia politik.

Gibran, yang sebelumnya dikenal sebagai pengusaha sukses, memutuskan untuk terjun ke dunia politik dengan mencalonkan diri sebagai Wali Kota Solo pada pemilihan yang akan datang. Namun, langkahnya ini menjadi sorotan karena dianggap sebagai bagian dari fenomena politik dinasti yang semakin merakyat di berbagai lapisan pemerintahan.

Sebelum terjun ke dunia politik, Gibran dikenal sebagai seorang pengusaha sukses. Ia merupakan pemilik sejumlah bisnis, termasuk kafe dan restoran di Solo. Kepribadian dan keberhasilannya dalam dunia bisnis lokal membuatnya mendapatkan perhatian publik seiring dengan karir politik ayahnya yang cemerlang.

Pendidikan formal Gibran mencakup pendidikan di Indonesia dan Australia. Ia menempuh pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 3 Solo dan melanjutkan ke SMP Negeri 3 Solo. Setelah itu, Gibran melanjutkan pendidikannya di Solo High School sebelum akhirnya meraih gelar sarjana di bidang bisnis di Universitas Pelita Harapan, Jakarta.

Langkah politik Gibran pertama kali mencuat pada Pemilihan Umum 2019. Saat itu, ia maju sebagai calon legislatif DPR RI dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Meskipun belum berhasil meraih kursi legislatif, keikutsertaannya dalam dunia politik semakin menancapkan namanya dalam arena publik.

Keputusannya untuk mencalonkan diri sebagai Wali Kota Solo pada pemilihan berikutnya menimbulkan beragam tanggapan. Beberapa pihak mendukungnya, menganggap bahwa pengalaman bisnisnya dan latar belakang keluarganya dapat membawa perubahan positif bagi Solo. Namun, ada juga kritik yang muncul, khususnya terkait dengan isu politik dinasti dan keadilan dalam kompetisi politik.

Gibran sendiri menyatakan bahwa keputusannya terjun ke politik didasari oleh dorongan untuk memberikan kontribusi lebih besar bagi masyarakat. Dalam setiap kesempatan, ia menekankan komitmennya untuk memajukan kesejahteraan Solo melalui program-program pembangunan yang berkelanjutan.

Sementara masyarakat dan pengamat politik terus memantau perkembangan politik Gibran, ia harus menghadapi tantangan besar untuk membuktikan bahwa keberhasilan dan popularitasnya tidak semata-mata karena ikatan keluarga. Dengan dinamika politik yang semakin kompleks, perjalanan politik Gibran akan terus menjadi fokus perhatian masyarakat dan pemangku kepentingan.

Sejumlah kalangan masyarakat mengekspresikan kekhawatiran terkait risiko konsolidasi kekuasaan dalam keluarga tertentu dan umur Gibran yang dianggap belum cukup matang memunculkan tanda tanya tentang etika, konsistensi, dan keadilan dalam dunia politik. Para kritikus menegaskan bahwa fenomena ini dapat merugikan prinsip demokrasi dan meredam peluang partisipasi masyarakat yang lebih luas.

Milki Amirus Soleh selaku konsultan politik berpendapat bahwa hadirnya Gibran sebagai tokoh muda sebenarnya memang dibutuhkan dalam dimensi kepemimpinan baru Indonesia. Ia menyebutkan bahwa anak muda zaman sekarang menjadi tidak tertarik dengan proses demokrasi akibat tidak adanya tempat bagi anak muda dalam dunia politik.

"Landscape politik yg di belakang kita dari mulai orde baru sampai reformasi itu sebetulnya memberikan contoh bahwa anak muda memang jarang sekali diberikan tempat, dan itu sebetulnya membuat anak muda belakangan tidak tertarik dengan proses demokratisasi," ujar Milki.

Beberapa elemen masyarakat mengajukan pertanyaan tentang sejauh mana Gibran dapat memisahkan perannya sebagai calon politikus dan putra Presiden. Dengan latar belakang politik ayahnya yang kuat, ada kekhawatiran bahwa pengaruh politik keluarga dapat memengaruhi dinamika pemilihan secara keseluruhan.

Fahri berpendapat bahwa konsentrasi kekuasaan yang berlebihan dan ketidaksetaraan dalam peluang politik dapat terjadi karena Gibran terpilih sebagai calon Wakil Presiden.

 "Sangat mengkhawatirkan bahwa diangkatnya Gibran sebagai calon Wakil Presiden bisa mengakibatkan konsentrasi kekuasaan yang berlebihan dan ketidaksetaraan dalam peluang politik," ujar Fahri, salah satu calon pemilih dalam pemilu 2024 mendatang.

"Sangat mengkhawatirkan bahwa diangkatnya Gibran sebagai calon Wakil Presiden bisa mengakibatkan konsentrasi kekuasaan yang berlebihan dan ketidaksetaraan dalam peluang politik," ujar Fahri, salah satu calon pemilih dalam pemilu 2024 mendatang.

Di tengah kekhawatiran ini, tim kampanye Gibran berupaya menjelaskan bahwa keputusannya untuk mencalonkan diri didasarkan pada dorongan untuk memberikan kontribusi positif bagi masyarakat Solo. Mereka menekankan bahwa Gibran memiliki visi dan misi yang jelas untuk memajukan kesejahteraan kota tersebut.

Namun, sejumlah pihak tetap skeptis, mendesak agar transparansi dan akuntabilitas menjadi prioritas utama dalam perjalanan politik Gibran. Beberapa organisasi masyarakat sipil dan aktivis menyuarakan kebutuhan akan mekanisme kontrol yang lebih ketat untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan dalam konteks politik dinasti.

Pertanyaan etis juga muncul terkait penggunaan sumber daya dan akses yang dimiliki Gibran dalam kampanyenya. Kritikus mengingatkan bahwa ketidaksetaraan akses sumber daya dapat memberikan keuntungan tidak adil dalam persaingan politik dan memunculkan pertanyaan tentang seberapa merata kesempatan bagi calon dari lapisan masyarakat yang berbeda.

Dalam mengatasi keresahan ini, lembaga-lembaga pengawas pemilu dan penyelenggara pemilihan diharapkan dapat menjaga integritas dan keadilan. Transparansi dalam pemilihan, bersama dengan partisipasi aktif masyarakat, dianggap sebagai kunci untuk memastikan proses politik yang demokratis dan adil.

Seiring berjalannya waktu menuju pemilihan, suasana politik di Solo akan terus dipantau oleh masyarakat dan pemangku kepentingan. Pertanyaan-pertanyaan penting tentang politik dinasti, etika politik, dan prinsip demokrasi akan terus menjadi perbincangan hangat di tengah dinamika pesta demokrasi yang semakin dekat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun