“Eh, aku sedang tidak sholat. Kapan-kapan saja ya.” Arini mendesah kecewa, tapi kemudian mengangguk pelan. sebenarnya, Rinna tak suka hal pribadinya diungkit-ungkit.
Seminggu berlalu. Kertas-kertas bertebaran di meja belajar Rinna. Semua kewajibannya untuk mengganti mading akandirampungkan besok pagi. Ia memberesi sisa-sisa guntingan, lalu membuangnya ke tempat sampah. Saat itu matanya menangkap sebuah artikel yang terselip di antara tumpukan kertas mading edisi lalu. Judul yang disebut-sebur Arini tadi. Rinna merasa ada sesuatu yang belum dikerjakannya, tapi ia ingin mengabaikannya. Toh itu sunnah. Ia pun memasukkan edisi yang baru ke dalam boks plastik, siap untuk dibawa besok pagi, dan meletakkan edisi yang lama di dalam lemari, tertumpuk bersama puluhan arsip-arsip lain yang terlupakan.
“Mbak Rinnaaa.” Rinna menoleh ke belakang. Ia sedang sibuk menyusun artikel di mading ketika dilihatnya Nifa, adik kelasnya mendekat. Gadis itu tersenyum dan mengulurkan tangannya.
“Assalamu’alaikum,Mbak. Mau nanya boleh tidak?” tanyanya polos.
“Wa’alaikumsalam. Ya bolehlah. Ada apa?”
“Begini Mbak, boleh tidak sih kalau kita sholat Dhuha karena ingin keinginan kita terkabul? Dan, Nifa dengar kalau Dhuha itu bisa membuat wajah kita bercahaya ya, Kak, lalu orang tertentu bisa membedakan wajah orang yang selalu shalat Dhuha dengan yang tidak pernah.”
Rinna tak menjawab,terdiam.
“Dan satu lagi. Boleh tidak Nifa sholat Dhuha karena takut masuk neraka?Nifa takut kalau itu membuat Nifa shalat Dhuha bukan karena Allah.”
Dan Rinna pun merasa seperti dihempas ke jurang ketika mendengarkan pertanyaan lugu gadis kecil itu.
“Mbak, Mbak Rinna, kenapa?”
Rinna tertunduk. Satu per satu air matanya menetes. Kemudian tanpa bisa ditahan, air matanya semakin membanjir deras. Rinna berlari ke kamar mandi dan kemudian beranjak menuju mushola saat itu juga, meninggalkan Nifa yang berdiri terpaku di depan kotak mading. Ia menumpahkan segala sesalnya di sana.