[caption caption="Ilustrasi - selfie (Shutterstock)"][/caption]Saya sering membandingkan hidup di masa kecil dulu dengan sekarang. Kepada anak saya yang mulai beranjak remaja, saya selalu memberikan nasihat. Padahal dulu waktu saya seusia dhenok, Ibu dan Bapak tak banyak memberikan nasihat, hanya yang penting-penting saja.
Mungkin karena masanya berbeda sehingga saya harus ekstra memberi nasihat. Tak perlu banyak hingga berbusa, sedikit nasihat yang penting mengena. Oleh karena itu saya harus memilih kata yang berkualitas. Tidak sembarang kalimat saya sampaikan. Saya harus hemat energi untuk yang satu ini.
Saya sering bilang ke dhenok, diawali dengan kata ketika Mama kecil, ketika Mama seusiamu, ketika Mama kuliah, dan lain-lain. Mengapa saya mengawali pembicaraan dengan kata-kata itu? Agar dhenok bisa membayangkan Ibu yang akan bicara ini usianya seperti dia dengan segala keimutannya. Kalau sekiranya dhenok bisa menerima dan sesuai kemauannya dia tak berkomentar apa-apa, tapi kalau tak sesuai biasanya dia akan bilang, ”Itu dulu mah. Dulu dan sekarang jelas beda.” (episode pembangkangan)
“Tapi adab sopan santun, adab bergaul dalam Islam, pendidikan akhlak sejak dulu sampai sekarang tetap sama. Jaman memang sudah banyak berubah. Sekarang dibilang jaman modern, kalau yang dulu dianggap kuno. Tapi lihat anak-anak jaman sekarang yang dibilang modern, jauh berbeda dengan anak-anak jaman dulu yang dianggap kuno. Yang dulu dianggap tabu dan memalukan, sekarang disebut modern, wajar dan biasa saja.
"Semua kembali pada masing-masing anak, masing-masing keluarga. Mama yakin, orang tua sekarang ketika masih remaja yang dididik dengan disiplin dan keras oleh orang tuanya maka mereka juga akan melakukan hal yang sama. Kata-kata larangan menunjuk mengapa tidak diizinkan tapi dengan alasan kuat.
"Coba lihat anak-anak yang tidak dilarang ini-itu, mereka akan cenderung bebas tak terbatas (meskipun tidak semua). Carilah sendiri contohnya dari teman yang kamu kenal. Carilah perbedaan temanmu yang dididik dengan beberapa larangan dan yang bebas tak terbatas.”
***
Sekarang jamannya cekrek-cekrek, sedikit-sedikit cekrek. Apa sih cekrek-cekrek? Saya hanya mengambil kata-kata dari anak muda jaman sekarang. Cekrek-cekrek alias foto-foto. Orang yang usianya hampir sama dengan saya, ketika remaja memasuki tahun 1980-an sampai sebelum tahun dua ribu, mereka tak mungkin sebentar-sebentar selfie. Foto diri saja tidak dilakukan, apalagi memotret kerbau yang ada di sawah bukan untuk keperluan fotografi.
Mengapa orang jaman dulu kok tidak sedikit-sedikit cekrek? Ya, iyalah. Wong mau foto saja uba rampenya banyak. Kamera, film, lalu nanti cuci film, mencetak foto, yang duitnya untuk mendapatkan satu lembar foto lumayan banyak. Jangankan untuk foto, untuk transport sekolah dan jajan saja tidak cukup. Lain dengan anak sekarang berani lapar yang penting selfie dan hape ada pulsa/kuota internetnya.
Anak sekolah dan mahasiswa yang belum kerja jaman dulu, yang penting belajar dan bisa beli buku. Jajan juga seadanya, sewajarnya saja. Paling pol kalau mau ulangan/ujian bila tak belajar mengandalkan senjata berupa kertas panjang berisi rumus praktis. Mungkin juga melirik sana-sini. Berbeda dengan anak-anak sekolah (termasuk mahasiswa) sekarang, tidak belajar ya tetap santai-santai saja. Ada mbah Google yang siap membantu asal tidak ketahuan. Syukur-syukur bisa cekrek soal lalu kirim ke orang yang pintar, yang kira-kira bisa membantu menjawab.
Kembali ke masalah cekrek tadi. Orang mau makan saja makanan difoto. Orang mau mandi update status dengan disertai foto. Kegiatan apa pun ditulis dalam status lalu mengunggah foto. Ini dilakukan terutama anak-anak yang masih berada pada masa puber. Ada yang mengambil gambar ketika berenang atau jajan bareng di kafe sama teman-temannya. Lalu update status bla-bla-bla. Ealah, mungkin si anak tak tahu diri. Berani nulis status macam-macam, padahal orang tuanya ngutang tetangga sana-sini udah lama nggak lunas-lunas. Kalau orang tuanya punya duit bukan untuk mengurangi hutang dengan cara mencicil malah untuk membeli gaya hidup. Prang preng…. (episode ngajak perang)
Kalau tahu status yang ditulis anak tetangga yang ngutang, rasanya pemberi pinjaman tersebut gemes sekali. Nah, ini yang rada serem. Akhir-akhir ini heboh foto yang beredar di dunia maya. Seorang anak SD biasa cekrek-cekrek. Berlanjut setelah praremaja juga cekrek-cekrek. Ketika dewasa juga update status dengan foto-fotonya. Padahal fotonya dinilai orang tidak layak dipertontonkan. (konon kabarnya, akun Facebook itu akun abal-abal). Apa pun alasannya, entah itu untuk koleksi pribadi atau untuk apa saja, sebagai orang tua saya kok prihatin dan miris. Pergaulan anak jaman sekarang kok parah banget (episode prihatin sebagai guru).
(Akhirnya ada klarifikasi dari orang yang ada di foto, bahwa foto tersebut sengaja disebarluaskan oleh orang yang sakit hati dan dendam). Kalau ada anak (pasangan remaja) yang berani memperlihatkan kemesraan di depan umum, mungkin ketika tidak dilihat umum akan melakukan tindakan yang lebih. Apalagi di dalam foto yang memperlihatkan kemesraan pasangan remaja yang bukan pasangan suami-istri (istighfar, istighfar).
Kalau demikian, siapa yang akan ditunjuk pertama kali untuk disalahkan? Saya yakin tidak langsung sekolahnya, melainkan anaknya siapa alias orang tuanya. Ke mana orang tuanya selama ini? Sudah memantau sejauh mana pergaulan putra-putrinya? Seberapa jauh komunikasi antara orang tua-anak? Bagaimana hubungan antara orang tua dan anak? Sehat-sehat saja, tidak dekat, atau malah tidak berkomunikasi sama sekali?
Anak sedikit-sedikit cekrek, tidak masalah. Justru arahkan ke hal positif. Beri dukungan pada anak-anak, agar cekrek-cekreknya bermanfaat apalagi bisa menghasilkan uang. Menjadi orang tua tanggung jawabnya besar. Orang tua bukan hanya sebagai mesin uang yang siap 24 jam bila diperlukan anak. Tapi orang tua juga wajib berkomunikasi, meluangkan waktu untuk bicara terutama dengan anak-anak yang menginjak remaja. Jangan menggunakan sisa waktu untuk berkomunikasi dengan anak-anak, tapi luangkan waktu secukupnya.
Orang tua jaman sekarang juga harus mengenal teknologi. Kalau perlu orang tua juga memiliki akun di medsos, bertemanlah dengan anak-anak, agar kita bisa memantau anak. Kita juga tahu kelayakan status yang ditulis anak. Kalau tak layak, kita bisa mengingatkan untuk menghapus status atau foto yang diunggah.
***
Tetap boleh cekrek-cekrek di jaman sekarang asal ada kepentingan yang mendasar. Batasi dan lakukan foto-foto hanya sebatas yang tak menimbulkan kontroversi. Jangan sampai foto kita hanya menjadi sampah. Kalau foto kita dianggap bisa dikomersialkan, tentu saja pihak-pihak tak bertanggung jawab akan menyalahgunakan. Siapa yang rugi? Jelas kita! Sebagai orang yang beradab, lakukan semua hal sesuai adab.
Karanganyar, 7 Maret 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H