Mohon tunggu...
Noer Ima Kaltsum
Noer Ima Kaltsum Mohon Tunggu... Guru - Guru Privat

Ibu dari dua anak dan suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Dari Genthong Keluar Emas Perhiasan

2 Juli 2015   19:47 Diperbarui: 2 Juli 2015   19:47 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

CERITA PENDEK

DARI GENTHONG KELUAR EMAS PERHIASAN

Ketika masih kelas 2 SD dulu, sekitar tahun 78-an sebelum berangkat sekolah, aku harus mengisi genthong tempat air. Kebetulan kami masuk sekolah siang hari. Aku dan mbak Ika bekerja sama menimba air. Tali karet untuk menimba kami tarik bergantian, sehingga tidak terlalu berat.

Dua genthong air kami isi penuh. Genthong yang satu, ukuran besar airnya untuk memasak. Kadang-kadang untuk persediaan minum kalau kami kehausan dari bermain. Air genthong atau air langsung diambil dari sumur, bila diminum rasanya segar karena kaya mineral. Saat itu air dari sumber mata air aman diminum tanpa dimasak lebih dahulu.

Genthong yang kedua ukurannya kecil. Genthong ini diletakkan di bibir sumur, lalu diikatkan pada tiang dengan tali. Dua tiang sumur bagian atas dihubungkan dengan kayu. Kayu inilah untuk menempatkan katrol atau kerekan. Genthong kedua digunakan untuk persediaan air wudhu. Kami menyebutnya dengan sebutan padasan.

Bagi masyarakat Yogya saat itu, bila memiliki air dalam genthong merasa lebih nyaman dan ayem. Rata-rata hampir tiap keluarga atau tiap rumah memiliki genthong tempat air. Waktu itu dunia plastik belum merajai seperti sekarang ini. Ember yang digunakan juga dari karet atau dari seng. Kalau bukan ember besar dari seng yang digunakan untuk mencuci pakaian, biasanya orang memiliki pengaron. Pengaron atau tempat air dari tanah liat (gerabah).

Setelah plastik mulai dikenal masyarakat, pengaron dan genthong juga mulai ditinggalkan. Akan tetapi Ibu dan Bapak tetap menggunakan genthong sebagai tempat menyimpan air.

“Orang-orang sudah tak lagi menggunakan genthong, Bu.”kataku

“Biarlah. Memang resiko pecah sangat besar. Tapi selagi tidak kena pukulan atau hantaman, genthong ini tidak akan pecah.”

“Pakai ember plastik saja, Bu.”

“Terlalu sayang bila tidak digunakan.”

Aku diam, tidak menanggapi Ibu lagi. Sewaktu keluarga pindah rumah, genthong tersebut juga dibawa. Genthong besar tetap diisi air, sedangkan genthong kecil tidak digunakan untuk padasan lagi. Genthong kecil ini digunakan Ibu untuk menyimpan beras. Genthong ditutup dengan tutup semacam cowek (cobek) dari tanah liat ukuran besar.

Usia genthong yang dimiliki Ibu dan Bapak hampir sama dengan usiaku, yakni empat puluh tiga tahun. Sekarang dua genthong tersebut merupakan barang kuno dan antik. Genthong kecil sekarang berada di dalam kamar Ibu dan Bapak. Tidak lagi digunakan untuk menyimpan beras. Aku sendiri tidak tahu untuk apa. Bagaimanapun aku harus menghargai Ibu dan Bapak. Aku tak ingin menyakiti mereka dengan meremehkan barang masa lalu.

Genthong besar ditempatkan di depan rumah. Diisi dengan air separo wadah, digunakan untuk memelihara beberapa ekor ikan. Aku dan saudara-saudara membiarkan Ibu dan Bapak dengan kesukaannya/klangenannya. Toh, dengan merawat genthong dan ikan, mereka tidak merepotkan anak-anak.

00000

“Mia, aku mau bicara. Kamu bisa pulang ke rumah Ibu dan Bapak, bukan? Diusahakan ya. Ada yang perlu kita bicarakan,” kata mbak Nana dari telepon.

“Ya, insya Allah aku pulang.”

Ada apa dengan Ibu dan Bapak? Kok tiba-tiba aku disuruh pulang? Aku pulang sendiri, suami dan anak-anak aku tinggal. Semoga anak-anakku tidak rewel. Aku tidak mereka-reka apa yang sudah terjadi di rumah Ibu. Nanti kalau sudah sampai kampung kelahiran semua juga akan terjawab.

Sampai di rumah Ibu dan Bapak, suasana juga tenang seperti hari-hari biasa. Alhamdulillah Ibu dan Bapak sehat wal afiat. Doaku setiap hari memang tak berlebihan, hanya mohon kepada Allah agar Ibu dan Bapak dititipi kesehatan lahir dan batin. Dengan sehat Ibu dan Bapak tentu akan lebih sujud dan syukur.

Mbak Nana mengatakan bahwa Ibu ingin menunaikan ibadah haji.

“Alhamdulillah, kita bersyukur,”kataku.

“Biaya dari mana, Mia? Tahun ini Bapak baru saja pulang haji.”

“Percayalah, mbak Nana. Ibu tak akan membebani anak-anaknya. Pasti Ibu akan memberi kejutan pada kita.”

Malam harinya, Ibu mengungkapkan kepada kami, anak-anaknya bahwa beliau ingin menunaikan rukun Islam kelima itu. Bagiku semua itu masuk akal saja dan bukan mustahil. Lalu Ibu mengajak aku dan saudara-saudara perempuanku masuk ke dalam kamarnya.

Ibu membuka genthong. Dari dalam genthong, Ibu mengeluarkan tempat perhiasan sederhana. Dalam hati aku berdecak kagum. Ternyata Ibu memiliki tabungan emas. Emas-emas tersebut Ibu beli sedikit demi sedikit.

Dari dalam genthong itu juga, Ibu mengeluarkan surat-surat pembelian perhiasan tersebut. Dari perhitungan kedua kakak perempuanku, emas-emas Ibu tersebut bila dijual cukup untuk biaya naik haji.

Terjawab sudah rasa penasaranku kemarin. Aku memang sudah tahu sejak awal kalau Ibu memiliki perhiasan emas. Tapi di luar dugaanku, tabungan emas Ibu jumlahnya banyak. Dulu Ibu pernah mengatakan bahwa tabungan emas tersebut untuk berjaga-jaga di hari tuanya. Ibu tidak ingin memberatkan anak-anaknya.

00000

Genthong, ya genthong milik Ibu adalah tempat untuk menyimpan uang dan perhiasannya. Aku tahu dan paham sekali siapa Ibu. Seumur-umur, Ibu belum pernah menyimpan uang di bank. Kata Ibu daripada disimpan di bank, lebih baik uang tersebut dibelikan perhiasan. Tapi kalau uangnya cuma sedikit, biasanya disimpan dalam rupiah dan dimasukkan dalam genthong.

Aku ceritakan semua ini pada temanku. Beliau tertawa, tawanya tak mengandung olok-olok atau ejekan. Beliau tertawa karena dia sendiri juga melakukan hal yang sama.

“Bu Mia, aku juga menyimpan uang dan perhiasan dalam genthong. Bahkan genthongnya juga untuk menyimpan beras.”

Setelah diberi tahu cara menyimpan perhiasan dalam genthong yang berisi beras, aku tertawa. Boleh juga idenya. Menyimpan barang berharga di dalam rumah tapi tak khawatir terendus pencuri.

Aku jadi ingat dengan kebiasaan Ibu mertua yang menyimpan uangnya di dalam genthong berisi beras. Genthong yang dibiarkan berada di luar kamar. Tak ada orang yang curiga kalau genthong itu berisi uang. Ibu tak khawatir meninggalkan rumah beserta rupiahnya. (SELESAI)

Karanganyar, 2 Juni 2015

Cerita ini terinspirasi dari beberapa orang yang menggunakan genthong sebagai wadah air, menyimpan beras, rupiah dan perhiasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun