Ada satu momen di akhir pekan yang selalu terasa absurd. Setelah lima hari penuh tenggelam dalam rapat, email, dan ekspektasi tak masuk akal dari atasan, akhirnya kita duduk di sofa, segelas kopi di tangan, dan... merasa gelisah. Seharusnya ini adalah saat bersantai. Tapi kepala malah dihantui pertanyaan: "Harusnya gue ngapain, ya?"
Bill Watterson, melalui karakter Calvin yang terkenal sinis, menangkap absurditas ini dengan satu kalimat tajam: "There's never enough time to do all the nothing you want." Tidak ada cukup waktu untuk melakukan semua "tidak apa-apapun" yang kita inginkan. Kedengarannya ironis, tetapi semakin kita pikirkan, semakin masuk akal.
Sebagai makhluk modern, kita punya hubungan yang aneh dengan waktu. Kita mengeluh sibuk, tetapi begitu diberi waktu luang, kita kebingungan harus mengisinya dengan apa. Seolah-olah kita telah lupa bagaimana caranya tidak melakukan apa-apa, atau lebih buruk, kita merasa bersalah saat melakukannya.
Psikologi sosial punya istilah untuk ini: toxic productivity. Obsesi untuk terus produktif, bahkan dalam waktu luang. Kita melihatnya dalam cara orang mengubah hobi menjadi ladang cuan, liburan menjadi konten, bahkan tidur pun harus "berkualitas" dengan aplikasi pengukur REM. Tidak ada lagi yang namanya leyeh-leyeh tanpa rasa bersalah; semuanya harus punya nilai tambah.
Filsafat, khususnya dari aliran Stoikisme dan Eksistensialisme, sejak lama menyadari absurditas ini. Seneca pernah berkata bahwa manusia terlalu sibuk mengejar hal-hal yang mereka anggap penting, sampai lupa bahwa hidup itu sendiri adalah sesuatu yang berlalu begitu saja. Sementara Sartre, dengan gaya khasnya yang sedikit depresif, mengingatkan bahwa kebebasan justru bisa membuat kita cemas, karena begitu tidak ada kewajiban, kita harus menghadapi kekosongan eksistensial yang murni.
Mungkin itulah sebabnya kita panik ketika mendadak punya waktu luang. Tidak ada rapat Zoom, tidak ada pesan WhatsApp dari bos, tidak ada email yang harus dibalas, hanya kita dan keheningan yang canggung. Dalam kondisi seperti itu, banyak orang akhirnya mengambil langkah paling instingtif: buka media sosial, scroll tanpa tujuan, lalu tiba-tiba sadar sudah dua jam berlalu tanpa ada yang benar-benar dilakukan.
Ilmu saraf punya penjelasan menarik tentang ini. Otak manusia, terutama di era digital, semakin kecanduan dopamine hits dari aktivitas yang tampaknya produktif atau setidaknya memberikan distraksi. Itulah mengapa kita lebih mudah tergoda untuk mengecek notifikasi daripada sekadar duduk diam menikmati secangkir teh.
Padahal, jika kita mundur sedikit dan melihat ke belakang, konsep "tidak melakukan apa-apa" dulunya adalah hal yang lumrah. Orang-orang zaman dulu menghabiskan sore di beranda rumah, ngobrol santai dengan tetangga tanpa rasa terburu-buru. Anak-anak bermain tanpa jadwal kursus ini-itu. Tidak ada yang merasa harus hustle atau grind.
Tetapi di dunia modern, waktu senggang terasa seperti barang mewah yang harus segera "dimanfaatkan." Sehingga ketika Calvin berkata bahwa tidak ada cukup waktu untuk melakukan semua "tidak apa-apapun" yang kita inginkan, dia bukan hanya bercanda, dia mengungkap paradoks hidup kita.
Mungkin solusinya bukan sekadar mencari lebih banyak waktu luang, tetapi belajar untuk tidak merasa bersalah saat memilikinya. Membiarkan diri sendiri menikmati momen tanpa merasa perlu posting atau monetize setiap hal. Mungkin kita perlu mengembalikan seni bersantai ke tempat yang seharusnya: bukan sebagai sesuatu yang harus dijadwalkan, tetapi sebagai hakikat alami manusia.
Jadi, kapan terakhir kali kamu benar-benar tidak melakukan apa-apa, dan menikmatinya?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI