Mungkin itulah sebabnya kita panik ketika mendadak punya waktu luang. Tidak ada rapat Zoom, tidak ada pesan WhatsApp dari bos, tidak ada email yang harus dibalas, hanya kita dan keheningan yang canggung.
Dalam kondisi seperti itu, banyak orang akhirnya mengambil langkah paling instingtif: buka media sosial, scroll tanpa tujuan, lalu tiba-tiba sadar sudah dua jam berlalu tanpa ada yang benar-benar dilakukan.
Ilmu saraf punya penjelasan menarik tentang ini. Otak manusia, terutama di era digital, semakin kecanduan dopamine hits dari aktivitas yang tampaknya produktif atau setidaknya memberikan distraksi.
Itulah mengapa kita lebih mudah tergoda untuk mengecek notifikasi daripada sekadar duduk diam menikmati secangkir teh.
Padahal, jika kita mundur sedikit dan melihat ke belakang, konsep "tidak melakukan apa-apa" dulunya adalah hal yang lumrah.
Orang-orang zaman dulu menghabiskan sore di beranda rumah, ngobrol santai dengan tetangga tanpa rasa terburu-buru. Anak-anak bermain tanpa jadwal kursus ini-itu. Tidak ada yang merasa harus hustle atau grind.
Tetapi di dunia modern, waktu senggang terasa seperti barang mewah yang harus segera "dimanfaatkan."
Sehingga ketika Calvin berkata bahwa tidak ada cukup waktu untuk melakukan semua "tidak apa-apapun" yang kita inginkan, dia bukan hanya bercanda, dia mengungkap paradoks hidup kita.
Mungkin solusinya bukan sekadar mencari lebih banyak waktu luang, tetapi belajar untuk tidak merasa bersalah saat memilikinya. Membiarkan diri sendiri menikmati momen tanpa merasa perlu posting atau monetize setiap hal.
Mungkin kita perlu mengembalikan seni bersantai ke tempat yang seharusnya: bukan sebagai sesuatu yang harus dijadwalkan, tetapi sebagai hakikat alami manusia.
Jadi, kapan terakhir kali kamu benar-benar tidak melakukan apa-apa, dan menikmatinya?