Ketika sebuah karya musikal legendaris seperti Wicked diadaptasi ke dalam format film, harapan publik memuncak. Sebagai salah satu musikal Broadway yang paling dicintai, Wicked tidak hanya menyajikan kisah epik tentang persahabatan dan perjuangan, tetapi juga membawa warisan estetika dan musikalitas yang ikonis. Namun, dalam adaptasinya ke layar lebar, pertanyaannya tetap: apakah film ini mampu menangkap keajaiban yang telah memikat hati jutaan penonton?
Keindahan Visual dan Produksi
Dunia Oz, sebagaimana dihadirkan dalam film, adalah sebuah panorama visual yang memukau. Dari gemerlap Emerald City hingga hutan magis yang menyelimuti perjalanan Elphaba, setiap sudut layar seolah dirancang untuk memanjakan mata. Kostum dan desain produksi memberikan penghormatan pada estetika Broadway sembari memperluas imajinasi penonton melalui teknologi modern. Namun, di balik semua kemegahan itu, ada kritik yang tak dapat diabaikan.
Di paruh akhir film, penggunaan CGI mulai terasa berlebihan, terutama dalam adegan klimaks yang berusaha menyampaikan intensitas emosional. Ironisnya, alih-alih memperkuat, efek visual yang terlalu ambisius justru mengurangi kedalaman pengalaman penonton. Ini menjadi salah satu tantangan utama dalam film adaptasi musikal: bagaimana menjaga keseimbangan antara eksplorasi teknologi dan esensi cerita.
Penampilan Para Pemeran
Cynthia Erivo sebagai Elphaba adalah puncak dari kekuatan naratif film ini. Aktingnya yang mendalam dan kemampuan vokalnya yang luar biasa membawa karakter Elphaba hidup dengan cara yang menggetarkan. Namun, sayangnya, penampilan Ariana Grande sebagai Glinda tidak memberikan resonansi yang setara. Sementara Grande memiliki suara yang merdu, performanya sering kali terasa kurang mendalam, terutama dalam adegan-adegan emosional yang membutuhkan dinamika lebih kompleks.
Kesenjangan ini menciptakan ketimpangan dalam hubungan antara Elphaba dan Glinda, yang seharusnya menjadi inti cerita. Persahabatan mereka, yang sarat dengan konflik dan rekonsiliasi, kehilangan kehangatan dan ketegangan emosional yang diperlukan. Hal ini membuat beberapa momen kunci terasa hambar, memengaruhi bagaimana penonton memahami perkembangan karakter.
Musik dan Tantangan Adaptasi
Musik adalah jiwa dari Wicked. Lagu-lagu seperti Defying Gravity dan Popular telah menjadi bagian dari budaya populer. Namun, dalam film, adaptasi musik ini menghadapi tantangan besar. Misalnya, Defying Gravity, yang seharusnya menjadi puncak emosi dan klimaks naratif, terganggu oleh pacing yang tidak konsisten. Alih-alih membiarkan lagu tersebut mengalir dengan kekuatan penuh, film menyisipkan terlalu banyak interupsi visual dan naratif, menghancurkan momentum yang krusial.
Masalah lain muncul dari durasi film yang diperpanjang untuk menambahkan subplot dan adegan tambahan. Meskipun bertujuan untuk memperdalam latar belakang cerita, banyak dari elemen ini terasa tidak perlu. Sebagai contoh, eksplorasi masa lalu Elphaba, meskipun menarik, justru mengalihkan perhatian dari fokus utama cerita.
Konten Tambahan dan Aspek Naratif
Selain itu, ada upaya untuk memperluas representasi karakter, seperti menambahkan elemen LGBTQ+ dalam hubungan Fiyero. Sayangnya, upaya ini tidak dieksekusi dengan halus. Elemen ini terasa dipaksakan, seolah lebih untuk memenuhi tuntutan sosial ketimbang memperkuat narasi.
Secara psikologis, film ini mencoba menggali lebih dalam rasa bersalah dan trauma masa kecil Elphaba, khususnya terkait kematian ibunya. Namun, pendekatan ini justru jatuh ke dalam jebakan klise yang sering ditemukan di banyak film Hollywood. Bukannya memperkaya cerita, elemen ini memperpanjang durasi tanpa memberikan dampak emosional yang signifikan.
Kesimpulan
Adaptasi film Wicked adalah sebuah eksperimen berani yang berusaha menghidupkan kembali keajaiban Broadway di layar lebar. Keindahan visualnya tidak dapat disangkal, dan performa Cynthia Erivo sebagai Elphaba adalah salah satu sorotan terbesar. Namun, film ini juga memiliki kekurangan besar, terutama dalam hal dinamika karakter, pacing musik, dan keputusan naratif.
Bagi penggemar berat musikal, film ini tetap layak ditonton, terutama untuk menikmati momen-momen visual dan musikal yang memukau. Namun, bagi mereka yang mengharapkan adaptasi yang benar-benar sepadan dengan kehebatan panggung Broadway, film ini mungkin meninggalkan rasa kurang puas. Dalam upaya menjembatani dunia panggung dan layar, Wicked versi film menghadapi dilema klasik: bagaimana menangkap jiwa sebuah karya tanpa kehilangan esensinya di tengah semua ambisi produksi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI