Banyak orang kelas menengah yang akhirnya "terjebak" gaya hidup konsumtif gara-gara cicilan ini. Misalnya, mereka merasa mampu beli mobil baru atau gadget canggih karena ada skema cicilan.Â
Padahal, saat dicicil, total harga barangnya jadi lebih mahal karena ada biaya admin atau bunga terselip.Â
Akhirnya, uang yang seharusnya bisa dialokasikan untuk hal produktif (seperti investasi atau dana darurat) malah habis untuk bayar utang. Â
Maksud dari pernyataan Timothy ini sepertinya untuk menegaskan bahwa kelas menengah sering stuck di tempat. Mereka nggak bisa naik kelas jadi orang kaya karena terlalu sibuk bayar cicilan.Â
Sistem ini membuat mereka seperti hamster yang terus lari di roda, kerja keras setiap bulan, tapi nggak punya sisa penghasilan untuk menabung atau investasi. Dalam jangka panjang, ini membuat mereka sulit untuk mencapai kebebasan finansial. Â
Lalu bagaimana dengan inflasi?Â
Apa yang Timothy bilang soal inflasi itu 100% nyata. Harga barang dan kebutuhan terus naik, tapi gaji orang rata-rata stagnan.Â
Harga rumah, bahan makanan, atau biaya pendidikan terus melonjak, sementara cicilan juga terus berjalan. Ini membuat kelas menengah semakin tertekan dan hanya bisa "survive," bukan berkembang. Â
Pandangan ini menarik karena membuat kita berpikir ulang soal kebiasaan finansial kita sendiri. Kadang, cicilan dianggap solusi praktis, tapi sebenarnya malah jadi beban.Â
Apakah kita benar-benar butuh barang itu, atau kita hanya tergoda dengan promo cicilannya?
Selain itu, topik ini juga relevan karena menyentuh pola hidup generasi sekarang yang sering fokus pada konsumsi ketimbang investasi. Â