Lebih buruk lagi, ini bisa menciptakan konflik di tim, karena orang lain mungkin merasa kamu nggak adil atau egois. Jadi, pakai strategi ini hanya ketika situasinya benar-benar butuh, dan pastikan niatmu tetap profesional, bukan semata-mata cari keuntungan pribadi.Â
Kalau tidak, bukannya membantu, malah bisa jadi bumerang yang merugikanmu sendiri.Â
Sekarang bayangkan kamu adalah satu-satunya orang di tim yang paham cara menggunakan software tertentu untuk menyusun laporan analitik, sementara laporan ini sangat penting untuk presentasi atasan di depan manajemen.Â
Atasanmu, sayangnya, nggak terlalu suka sama kamu, mungkin karena salah paham atau faktor personal. Daripada frustrasi atau diem aja, kamu memutuskan pakai jurus transaksional.Â
Kamu selesaikan laporan itu dengan hasil terbaik, kasih insight tambahan yang tidak mereka minta, dan pastikan laporan itu siap sebelum deadline.Â
Ketika atasan melihat hasilnya, mereka tidak punya pilihan selain mengakui bahwa kontribusi kamu tidak tergantikan. Alhasil, meski awalnya mereka kurang mendukung, mereka mulai melunak dan bahkan lebih terbuka ke depannya untuk kerja sama. Â
Tapi, beda ceritanya kalau strategi ini dijalankan tanpa etika. Misalnya, kamu tahu bahwa atasanmu butuh banget laporan itu, dan kamu sengaja memperlambat proses pengerjaannya untuk membuat mereka terdesak.Â
Ketika mereka panik, kamu datang seperti "pahlawan" dengan laporan yang sudah selesai. Hasilnya, mungkin kamu dapat pujian sesaat, tapi kalau mereka sadar kamu sengaja nahan laporan itu, hubunganmu bisa rusak.Â
Atasanmu mungkin kehilangan rasa percaya dan merasa kamu nggak profesional. Bahkan, kolega lain juga bisa menilai kamu hanya peduli dengan kepentingan pribadi.Â
Intinya, jurus transaksional itu powerful, tapi kalau dipakai dengan cara licik, efeknya akan lebih merugikan daripada menguntungkan.Â
Jurus transaksional sebenarnya adalah strategi cerdas yang bisa jadi penyelamat di situasi sulit, terutama saat kamu butuh dukungan dari pihak yang awalnya tidak mendukungmu.Â