Mohon tunggu...
Noer Ashari
Noer Ashari Mohon Tunggu... Operator - Operator Madrasah Tsanawiyah

Operator Madrasah : - Operator data EMIS (Education Management Information System) - Operator data Simpatika Kemenang - Operator E-RKAM BOS Kemenag - Operator Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus - Teknisi ANBK dari Tahun 2017 s.d sekarang (dulu masih UNBK namanya) Mencoba untuk menuangkan keresahannya melalui artikel di Kompasiana, tapi lebih banyak tema yang diluar dari konteks pekerjaan.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Artikel Utama

Elon Musk Cemas dan Stress Karena AI Ciptaannya Sendiri?

15 Oktober 2024   13:45 Diperbarui: 16 Oktober 2024   12:03 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Elon Musk, Hmm... siapa yang nggak kenal dia? Dia ini salah satu orang terkaya di dunia dan sosok yang berpengaruh di dunia teknologi modern.

Sebagai pendiri perusahaan-perusahaan raksasa seperti Tesla, SpaceX, hingga Neuralink, Musk terkenal karena ide-idenya yang kadang terdengar gila tapi ternyata bisa jadi kenyataan.

Tidak hanya membuat mobil listrik dan roket yang bisa mendarat sendiri, Musk juga berkecimpung dalam pengembangan kecerdasan buatan alias AI.

Nah, di sinilah hal menariknya. Meskipun Musk adalah salah satu orang yang mendorong perkembangan AI, ternyata dia juga merasa cemas dengan teknologi ini. Beberapa kali, dia terang-terangan ngomong kalau AI bisa jadi ancaman serius bagi umat manusia. Di berbagai kesempatan, Musk bahkan menyebut kalau AI membuat dia stres. Katanya, AI punya potensi jadi sangat kuat dan bisa mengambil alih pekerjaan manusia. Tidak heran kalau dia sering menyerukan perlunya regulasi untuk mengawasi AI, agar tidak berkembang tanpa kontrol yang jelas. (Sumber)

Jadi, meskipun Elon Musk adalah sosok yang visioner, dia juga menyimpan banyak kekhawatiran tentang masa depan teknologi yang dia ciptakan sendiri.

Elon Musk sering menyuarakan kekhawatirannya soal AI. Bagi dia, AI bukan cuma teknologi keren yang bisa membuat hidup lebih praktis, tapi juga sesuatu yang berpotensi jadi ancaman besar. Menurut Musk, AI bisa berkembang sampai titik di mana manusia kehilangan kontrol, dan itu bisa sangat berbahaya.

Musk pernah bilang kalau AI bikin dia stres, karena AI ini bisa mengambil alih banyak pekerjaan manusia. (Sumber)

Bayangin, kalau AI bisa melakukan segala hal lebih cepat dan efisien, pekerjaan manusia lama-lama jadi tidak relevan lagi. Di masa depan, katanya, kita bisa hidup di dunia di mana pekerjaan mungkin hanya jadi pilihan, bukan kebutuhan, karena semuanya bisa ditangani oleh AI dan robot.

Ini tentu memunculkan banyak pertanyaan tentang bagaimana manusia bisa tetap merasa berguna dan punya makna di dunia yang sangat terotomatisasi.

Karena itulah, Musk mengajak pemerintah untuk membuat regulasi yang jelas soal AI. Menurut dia, tanpa aturan yang tepat, AI bisa berkembang tanpa batasan dan berpotensi membuat kekacauan.

Dia percaya, kalau AI dibiarkan tanpa pengawasan, ada kemungkinan besar teknologi ini akan disalahgunakan, atau bahkan berkembang jadi sesuatu yang di luar kendali manusia.

Jadi, bagi Musk, regulasi itu penting supaya AI bisa tetap dikendalikan dan berfungsi untuk kepentingan umum, bukan malah membahayakan kita.

Elon Musk dan Mobil Tesla | Kompas.com
Elon Musk dan Mobil Tesla | Kompas.com

Elon Musk bisa dibilang punya hubungan asmara dengan AI, di satu sisi dia was-was, tapi di sisi lain dia juga memanfaatkannya untuk membuat teknologi yang luar biasa. Lihat saja Tesla, misalnya.

Mobil-mobil Tesla, sebagai pelopor mobil listrik pintar di dunia, sekarang ini sudah pakai AI untuk fitur self-driving alias mengemudi otomatis. Tujuannya jelas, membuat mobil yang safety dan smart.

AI-nya dilatih sedemikian rupa untuk membaca situasi jalan, mengerti tanda lalu lintas, dan melindungi penumpang dengan cara mengemudi yang lebih cerdas dari manusia. Bagi Musk, AI ini bisa membuat transportasi jadi lebih aman dan efisien.

Robot Humanoid Optimus | Kompas.com
Robot Humanoid Optimus | Kompas.com

Lalu ada lagi proyeknya yang tidak kalah menarik, yaitu robot humanoid bernama Optimus. Robot ini dibuat supaya bisa bantu-bantu di berbagai aktivitas fisik yang biasanya dikerjakan manusia. Di video demonstrasi, kita bisa lihat Optimus sedang ‘menarik’ bagian-bagian tubuhnya sendiri, seolah-olah dia sedang membuat replika dirinya. (Sumber) 

Nah, ini contoh lain bagaimana Musk mencoba memanfaatkan AI untuk membantu pekerjaan sehari-hari, terutama di bidang yang mungkin kurang menarik atau bahkan berbahaya bagi manusia. 

Meski begitu, Musk tetap realistis tentang batasan dan resiko AI. Dia percaya kalau AI digunakan dengan cara yang benar, teknologi ini bisa sangat membantu dan bahkan membuat hidup kita jadi lebih mudah. Namun, dia tidak pernah berhenti mengingatkan kalau AI tetap butuh aturan yang ketat.

Bagi dia, AI itu seperti pedang bermata dua, bisa jadi sangat bermanfaat kalau dipakai dengan bijak, tapi bisa juga bahaya kalau lepas kendali. Jadi, di sini terlihat dualitas pandangannya terhadap AI, penuh potensi, tapi juga perlu hati-hati. 

Dampak Teknologi pada Kehidupan Sosial dan Emosional

Ngomongin tentang teknologi, pastinya tidak terlepas dari yang namanya smartphone (ponsel pintar). AI dan ponsel pintar memang sudah jadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kita, terutama untuk generasi muda.

Anak-anak muda sekarang sudah tumbuh bersama gadget canggih yang membuat segala sesuatu jadi mudah. Tapi, di balik kemudahan itu, ada dampak yang tidak bisa diabaikan, terutama dari sisi sosial dan emosional.

Ilustrasi Media Sosial. | Kompas.com
Ilustrasi Media Sosial. | Kompas.com

Coba lihat deh aplikasi media sosial yang kita pakai sehari-hari. Banyak dari platform ini yang sudah pakai AI untuk menyediakan konten yang sesuai dengan minat kita. Video-video pendek, meme, sampai informasi viral yang muncul terus di feed, yang bikin kita betah scroll berjam-jam. 

Bagi pelajar, ini jadi masalah besar. Alih-alih fokus ke tugas sekolah atau kegiatan produktif lainnya, mereka malah keasyikan dengan dunia maya. Apalagi, AI-nya pinter banget buat 'nembak' konten yang bikin kita susah berhenti udahan, jadi semakin sulit untuk melepas dari layar smartphone kita.

Akibatnya, banyak pelajar yang kehilangan motivasi untuk berjuang di dunia nyata. Mereka merasa semua hal sudah bisa "didapatkan" secara virtual mulai dari hiburan sampai validasi sosial.

Persaingan dan ambisi di dunia nyata jadi terabaikan karena mereka lebih nyaman dengan kepuasan instan yang ditawarkan dunia maya. Fokusnya pindah ke hal-hal yang instan, sementara tujuan jangka panjang seperti pendidikan atau karier jadi kurang menarik untuk dikejar.

Inilah salah satu sisi negatif dari teknologi yang perlu kita sadari. Kalau tidak hati-hati, AI dan smartphone bisa mengubah cara kita berpikir dan berinteraksi dengan dunia nyata, terutama bagi generasi muda yang masih dalam proses membentuk tujuan hidup mereka.

Elon Musk jelas jadi simbol dari ambivalensi teknologi. Di satu sisi, dia adalah pelopor inovasi yang berhasil mendorong teknologi canggih seperti AI ke depan, tapi di sisi lain, dia juga yang paling keras suaranya soal resiko-resiko yang dibawa oleh teknologi ini.

Musk paham betul kalau teknologi punya potensi luar biasa untuk membuat hidup lebih mudah dan efisien, tapi dia juga tidak menutup mata soal ancaman yang mungkin muncul kalau AI berkembang tanpa kontrol.

Pertanyaannya, bagaimana caranya kita, sebagai masyarakat, dan para tokoh seperti Musk, bisa mengelola dampak dari teknologi yang mereka ciptakan? 

Di satu sisi, kita butuh teknologi untuk mendorong peradaban ke level berikutnya, tapi di sisi lain, kita juga harus memastikan kalau teknologi tersebut tidak membuat hidup kita lebih rumit atau berbahaya. Mungkin tidak hanya regulasi dari pemerintah yang dibutuhkan, tapi juga kesadaran dari kita semua sebagai pengguna teknologi.

Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, penting untuk tetap waspada. Regulasi yang tepat harus ada, bukan untuk menghambat inovasi, tapi untuk melindungi kita semua dari resiko yang mungkin tidak kita sadari.

Di tangan yang tepat, AI bisa jadi alat yang luar biasa, tapi kalau tidak diawasi, bisa jadi pisau bermata dua yang membawa lebih banyak masalah daripada solusi. Jadi, bijaklah dalam menghadapi perkembangan teknologi, karena masa depan kita bergantung pada bagaimana kita mengelolanya hari ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun