Lalu ada lagi proyeknya yang tidak kalah menarik, yaitu robot humanoid bernama Optimus. Robot ini dibuat supaya bisa bantu-bantu di berbagai aktivitas fisik yang biasanya dikerjakan manusia. Di video demonstrasi, kita bisa lihat Optimus sedang ‘menarik’ bagian-bagian tubuhnya sendiri, seolah-olah dia sedang membuat replika dirinya. (Sumber)Â
Nah, ini contoh lain bagaimana Musk mencoba memanfaatkan AI untuk membantu pekerjaan sehari-hari, terutama di bidang yang mungkin kurang menarik atau bahkan berbahaya bagi manusia.Â
Meski begitu, Musk tetap realistis tentang batasan dan resiko AI. Dia percaya kalau AI digunakan dengan cara yang benar, teknologi ini bisa sangat membantu dan bahkan membuat hidup kita jadi lebih mudah. Namun, dia tidak pernah berhenti mengingatkan kalau AI tetap butuh aturan yang ketat. Bagi dia, AI itu seperti pedang bermata dua, bisa jadi sangat bermanfaat kalau dipakai dengan bijak, tapi bisa juga bahaya kalau lepas kendali. Jadi, di sini terlihat dualitas pandangannya terhadap AI, penuh potensi, tapi juga perlu hati-hati.Â
Dampak Teknologi pada Kehidupan Sosial dan Emosional
Ngomongin tentang teknologi, pastinya tidak terlepas dari yang namanya smartphone (ponsel pintar). AI dan ponsel pintar memang sudah jadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kita, terutama untuk generasi muda. Anak-anak muda sekarang sudah tumbuh bersama gadget canggih yang membuat segala sesuatu jadi mudah. Tapi, di balik kemudahan itu, ada dampak yang tidak bisa diabaikan, terutama dari sisi sosial dan emosional.
Coba lihat deh aplikasi media sosial yang kita pakai sehari-hari. Banyak dari platform ini yang sudah pakai AI untuk menyediakan konten yang sesuai dengan minat kita. Video-video pendek, meme, sampai informasi viral yang muncul terus di feed, yang bikin kita betah scroll berjam-jam.Â
Bagi pelajar, ini jadi masalah besar. Alih-alih fokus ke tugas sekolah atau kegiatan produktif lainnya, mereka malah keasyikan dengan dunia maya. Apalagi, AI-nya pinter banget buat 'nembak' konten yang bikin kita susah berhenti udahan, jadi semakin sulit untuk melepas dari layar smartphone kita.
Akibatnya, banyak pelajar yang kehilangan motivasi untuk berjuang di dunia nyata. Mereka merasa semua hal sudah bisa "didapatkan" secara virtual mulai dari hiburan sampai validasi sosial. Persaingan dan ambisi di dunia nyata jadi terabaikan karena mereka lebih nyaman dengan kepuasan instan yang ditawarkan dunia maya. Fokusnya pindah ke hal-hal yang instan, sementara tujuan jangka panjang seperti pendidikan atau karier jadi kurang menarik untuk dikejar.
Inilah salah satu sisi negatif dari teknologi yang perlu kita sadari. Kalau tidak hati-hati, AI dan smartphone bisa mengubah cara kita berpikir dan berinteraksi dengan dunia nyata, terutama bagi generasi muda yang masih dalam proses membentuk tujuan hidup mereka.
Elon Musk jelas jadi simbol dari ambivalensi teknologi. Di satu sisi, dia adalah pelopor inovasi yang berhasil mendorong teknologi canggih seperti AI ke depan, tapi di sisi lain, dia juga yang paling keras suaranya soal resiko-resiko yang dibawa oleh teknologi ini. Musk paham betul kalau teknologi punya potensi luar biasa untuk membuat hidup lebih mudah dan efisien, tapi dia juga tidak menutup mata soal ancaman yang mungkin muncul kalau AI berkembang tanpa kontrol.
Pertanyaannya, bagaimana caranya kita, sebagai masyarakat, dan para tokoh seperti Musk, bisa mengelola dampak dari teknologi yang mereka ciptakan?Â