Mohon tunggu...
Noer Ashari
Noer Ashari Mohon Tunggu... Lainnya - Kepala Tata Usaha

Mengungkapkan Keresahan Melalui Tulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Haruskah Kita Pertahankan Budaya Hormat yang sangat Berlebihan Itu?

22 September 2024   07:48 Diperbarui: 22 September 2024   07:51 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI Salam Hormat dengan Berjabat Tangan. | Pexels. Ketut Subiyanto

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering melihat contoh budaya hormat yang berlebihan. Mulai dari cara berbicara yang terlalu tunduk di depan atasan atau tokoh agama, hingga gestur fisik seperti menunduk dalam-dalam atau tidak berani menatap langsung saat bicara. Budaya ini kerap dijumpai di lingkungan kerja maupun dalam pendidikan agama, di mana hierarki dan status sosial seolah menjadi tolak ukur seberapa besar penghormatan yang harus diberikan.

Yang jadi pertanyaannya adalah, apakah kita benar-benar harus mempertahankan cara ini? Di era modern yang semakin terbuka dan egaliter, apakah penghormatan yang terlalu berlebihan ini masih relevan? Atau justru akan membatasi kebebasan berpikir dan bersikap?

Budaya hormat yang berlebihan bisa kita lihat di banyak situasi. Misalnya, di beberapa tempat, ketika berbicara dengan orang yang lebih senior atau dianggap penting (tokoh), kita sering diminta untuk tidak menatap langsung ke mata mereka, seolah-olah menatap itu tanda kurang ajar. Ada juga kebiasaan menunduk terlalu dalam atau bahkan jalan jongkok di depan orang yang dihormati. Di lingkungan kerja juga sering ada pembeda perlakuan antara atasan dan bawahan, di mana bawahan harus selalu "menyembah" tanpa boleh mengkritik, meskipun atasan salah.

Perilaku demikian dapat menimbulkan dampak yang tidak main-main? Supaya objektif, kita ambil dari dua sisi. Dari sisi positif, budaya ini bisa menjaga sopan santun dan mencegah konflik. Orang jadi lebih hati-hati dalam berbicara dan bertindak. Tapi, di sisi lain, budaya hormat yang berlebihan bisa bikin orang jadi takut berpendapat, bahkan merasa rendah diri. 

Dalam jangka panjang, hal ini bisa menghambat kreativitas, inovasi, dan membuat orang merasa tidak setara. Masyarakat jadi terkotak-kotak, di mana yang di atas semakin merasa superior, dan yang di bawah terus terjebak dalam posisi "ngikut aja."

Kalau dipikir-pikir, apakah budaya hormat yang berlebihan itu masih diperlukan di zaman sekarang? 

Di satu sisi, kita pasti setuju bahwa menghormati orang lain itu penting, apalagi kepada yang lebih tua atau punya pengalaman lebih. Tapi, kalau sudah sampai berlebihan, rasanya justru lebih seperti bentuk penghambaan, bukan sopan santun. 

Apa alasannya? Mengapa harus ada perbedaan yang begitu besar dalam cara kita menghormati, sampai-sampai menunduk terlalu dalam atau bahkan merasa takut untuk bicara?

Dampak negatif dari budaya hormat yang berlebihan bisa membuat orang jadi malas berpikir kritis. Bawahan atau murid, misalnya, jadi segan untuk mengajukan ide baru atau memberi saran karena takut dianggap kurang sopan. Inovasi jadi terhambat karena semua orang cuma nurut aja. Ini juga memperkuat feodalisme, di mana yang di atas semakin berkuasa tanpa tantangan, dan yang di bawah harus terus tunduk. Akhirnya, kebebasan berekspresi dan berpikir jadi sangat terbatas, karena yang dihormati seolah-olah nggak bisa salah dan nggak boleh dikritik.

Sebenernya, kita tetap bisa kok menghormati orang lain tanpa harus terlalu berlebihan. Misalnya, cukup dengan berbicara sopan, mendengarkan dengan baik, dan menunjukkan rasa hormat melalui tindakan yang rasional, seperti memberi apresiasi tanpa harus menunduk berlebihan atau merasa inferior. Di banyak budaya, rasa hormat ditunjukkan dengan cara yang lebih sederhana tapi tetap penuh makna, misalnya dengan berjabat tangan, senyum tulus, atau menghargai pandangan orang lain, tanpa harus mengurangi martabat diri kita sendiri.

Dari ajaran agama atau filosofi, kita juga bisa belajar bahwa menghormati sesama itu penting, tapi nggak mesti dengan cara-cara yang berlebihan. Dalam Islam, misalnya, Nabi Muhammad SAW mengajarkan kita untuk saling menghormati dengan wajar, tanpa memandang status sosial. Semua orang punya derajat yang sama di mata Allah. Filosofi lain, seperti ajaran Stoisisme, juga mengajarkan untuk menghormati orang lain dengan tetap menjaga harga diri kita sendiri. Jadi, intinya, kita bisa tetap menunjukkan hormat secara proporsional tanpa perlu mengorbankan kebebasan atau martabat kita sebagai manusia.

Jadi, budaya hormat yang berlebihan memang perlu kita kaji ulang. Sopan santun itu penting, tapi kalau sampai membuat kita merasa harus tunduk berlebihan atau tidak berani bersuara, rasanya sudah tidak relevan lagi di zaman sekarang. Ada banyak cara untuk menghormati tanpa harus mengorbankan martabat kita sendiri. Yang lebih penting, kita harus tetap bisa berpikir kritis dan bebas berekspresi tanpa takut melanggar "aturan" penghormatan yang terlalu kaku.

Coba di pikir-pikir lagi, apakah kebiasaan ini masih perlu dipertahankan? Atau justru sudah waktunya kita mengubah cara pandang soal hormat menghormati agar lebih sehat dan seimbang dalam kehidupan modern saat ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun