Mohon tunggu...
Noer Ashari
Noer Ashari Mohon Tunggu... Operator - Operator Sekolah

Mengungkapkan Keresahan Melalui Tulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tradisi "Ngalap Berkah" Sisa Makanan Guru, Eksploitasi atau Bukti Kesadaran Spiritual?

26 Juni 2024   23:59 Diperbarui: 27 Juni 2024   09:08 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tradisi "Ngalap Berkah" (Sumber Gambar: hypeabis.id)

Apa itu Tradisi "Ngalap Berkah"?

Ngalap berkah itu artinya mencari berkah. Nah, dalam konteks ini, tradisi ngalap berkah seringkali merujuk pada kebiasaan orang-orang yang mengambil sisa makanan dari seorang guru atau tokoh yang dihormati. Mereka percaya bahwa dengan memakan sisa makanan tersebut, mereka akan mendapatkan berkah atau hal-hal baik dalam hidup mereka.

Tradisi ini punya akar yang cukup dalam di berbagai budaya dan komunitas, terutama di Asia Tenggara. 

Di banyak pesantren atau lembaga pendidikan tradisional, murid-murid sering melihat guru mereka sebagai figur yang sangat dihormati dan dianggap memiliki kekuatan spiritual. 

Di masa lalu, praktik ngalap berkah ini mungkin muncul dari rasa hormat yang besar terhadap guru, dan juga keyakinan bahwa segala sesuatu yang pernah disentuh atau dimiliki oleh guru mengandung keberkahan. Jadi, nggak heran kalau sisa makanan guru pun dianggap sakral dan membawa berkah.

Ilustrasi tradisi
Ilustrasi tradisi "Ngalap Berkah" (Sumber Gambar: hypeabis.id)

Ngalap Berkah dalam Perspektif Spiritualitas

Tradisi ngalap berkah sering dianggap sebagai wujud dari kesadaran spiritual yang mendalam. Para murid percaya bahwa guru mereka adalah sosok yang punya keistimewaan spiritual, jadi apa pun yang berasal dari guru tersebut, termasuk sisa makanannya, dianggap punya energi positif dan bisa membawa kebaikan.

Bagi para murid, sisa makanan guru bukan hanya sekedar makanan biasa. Mereka melihatnya sebagai sesuatu yang punya nilai spiritual tinggi. Mereka yakin bahwa setiap gigitan yang tersisa dari guru mengandung berkah yang bisa menambah keberkahan hidup mereka. Jadi, mereka rela berebut untuk mendapatkan sisa makanan itu, berharap dapat sedikit "cahaya" atau energi positif dari sang guru.

Di banyak daerah, kita bisa menemukan cerita-cerita tentang tradisi ngalap berkah ini. Misalnya di pesantren-pesantren di Jawa, ada cerita tentang murid-murid yang selalu berebut sisa makanan dari kyai atau habib mereka. Mereka percaya bahwa sisa makanan itu bisa membawa keberuntungan, kesehatan, bahkan rezeki yang melimpah. 

Ada juga cerita dari Bali, di mana orang-orang percaya bahwa mengambil sisa makanan dari pemangku adat atau orang suci bisa membantu mereka dalam mencapai ketenangan batin dan kehidupan yang lebih harmonis.

Jadi, tradisi ngalap berkah ini memang lebih dari sekadar kebiasaan makan sisa. Bagi banyak orang, ini adalah bentuk penghormatan dan upaya untuk mendekatkan diri kepada energi positif yang mereka yakini ada pada guru atau tokoh yang mereka hormati.

Eksploitasi dan Kritik Sosial

Walau tradisi ngalap berkah ini punya banyak pengikut, tidak sedikit juga yang mengkritiknya. Mereka menganggap bahwa tradisi ini bisa merendahkan martabat murid, karena mereka harus berebut sisa makanan. Bagi sebagian orang, ini terlihat seperti sesuatu yang kurang pantas dan tidak layak untuk dilakukan.

Ada yang bilang, tradisi ini bisa dianggap sebagai bentuk eksploitasi. Bayangkan murid-murid yang harus berebut sisa makanan guru, padahal seharusnya guru memberikan contoh dengan memberikan yang terbaik untuk murid-muridnya. Dalam pandangan ini, guru yang membiarkan murid-muridnya berebut sisa makanan bisa dianggap tidak menunjukkan rasa hormat dan tanggung jawab yang seharusnya.

Ada beberapa cerita yang menunjukkan sisi negatif dari tradisi ini. Misalnya, ada cerita di sebuah pesantren, di mana murid-murid sampai berkelahi hanya untuk mendapatkan sisa makanan dari kyai/habibnya. Akibatnya, bukannya mendapatkan berkah, malah ada yang terluka karena berebut sisa makanan dan karena itu hubungan antar murid jadi tidak harmonis. 

Ada juga cerita lain di mana seorang guru sering memberikan sisa makanannya kepada murid-murid, tetapi hal ini malah membuat para murid jadi terlalu bergantung dan kurang mandiri. 

Dari kedua contoh ini, kita bisa lihat bahwa meskipun niatnya baik, tradisi ngalap berkah bisa punya dampak negatif kalau tidak dijalankan dengan bijaksana. Maka dari itu, penting bagi kita mempertimbangkan sisi lain dari tradisi ini dan bagaimana cara terbaik untuk menjalankannya tanpa mengorbankan kesejahteraan murid.

Tanggung Jawab Guru

1. Peran Seorang Guru

Seorang guru bukan hanya pengajar ilmu atau hanya sekedar mentransfer ilmu, tapi juga pembimbing moral dan spiritual bagi murid-muridnya. Mereka punya tanggung jawab besar untuk memastikan kesejahteraan murid, baik secara fisik maupun mental. Dalam peran ini, guru harus memberikan contoh yang baik dan menunjukkan kepedulian nyata terhadap murid-muridnya.

2. Guru yang Baik Tidak Membiarkan Murid Memakan Sisa Makanan

Argumen kuat yang sering muncul adalah bahwa seorang guru yang baik seharusnya tidak rela melihat murid-muridnya memakan sisa makanan. Ini karena membiarkan murid berebut sisa makanan bisa dilihat sebagai bentuk kurangnya penghargaan terhadap martabat mereka. Seorang guru yang benar-benar peduli akan merasa bertanggung jawab untuk memberikan yang terbaik bagi murid-muridnya, termasuk dalam hal makanan.

3. Kepedulian Guru dengan Memberikan Makanan Utuh

Untuk menunjukkan kepedulian dan menghargai murid-muridnya, guru bisa memberikan makanan yang utuh dan layak. Ini bukan hanya soal memberikan makanan secara fisik, tapi juga memberikan contoh dan pelajaran tentang nilai-nilai kemanusiaan dan rasa hormat. 

Misalnya, seorang guru bisa mengajak murid-murid makan bersama, menyediakan makanan yang cukup untuk semua, dan memastikan bahwa tidak ada yang merasa kekurangan. Dengan cara ini, guru menunjukkan bahwa mereka peduli dan ingin memastikan semua muridnya mendapatkan perlakuan yang adil dan layak.

Jadi, menjaga kesejahteraan murid bukan hanya soal mengajar di kelas, tapi juga memastikan bahwa kebutuhan dasar mereka terpenuhi dengan cara yang menghormati martabat dan kemanusiaan mereka. Guru yang baik selalu mencari cara untuk memberikan yang terbaik bagi murid-muridnya, termasuk dalam hal makanan.

Setelah kita bahas dari berbagai sudut, tradisi "ngalap berkah" memang punya dua sisi. Di satu sisi, tradisi ini bisa dilihat sebagai bentuk kesadaran spiritual dan penghormatan terhadap guru. Murid-murid yang ikhlas mengikuti tradisi ini merasa mendapatkan berkah dan energi positif yang bisa memperkuat spiritualitas mereka.

Di sisi lain, kita tidak bisa tutup mata terhadap kritik yang ada. Tradisi ini bisa membuka ruang untuk eksploitasi, terutama kalau guru membiarkan murid-muridnya berebut sisa makanan tanpa memperhatikan martabat mereka. Kasus-kasus negatif yang terjadi menunjukkan bahwa tanpa pengawasan dan pengelolaan yang baik, tradisi ini bisa merugikan lebih dari menguntungkan.

Jadi, penting untuk kita berpikir kritis dan menilai sendiri apakah tradisi ini lebih banyak membawa manfaat atau justru sebaliknya. Mungkin, daripada sekedar mengikuti tradisi secara taklid buta, kita bisa cari cara-cara baru yang tetap menghormati nilai-nilai spiritual tapi juga menjaga kesejahteraan dan martabat semua orang yang terlibat.

Apa pun pendapat kita, yang jelas, menjaga keseimbangan antara penghormatan tradisi dan tanggung jawab sosial adalah kuncinya. Bagaimana menurut teman-teman?

Untuk melestarikan tradisi ngalap berkah tanpa mengorbankan kesejahteraan murid, mungkin ada empat langkah yang bisa diambil:

1. Pendidikan dan Pemahaman

Guru mestinya sudah paham secara mendalam mengenai esensi dari tradisi ini. Ajak mereka (para murid) berdiskusi mengenai makna spiritual di balik ngalap berkah, bukan sekedar praktik fisiknya.

2. Modifikasi Praktik

Tradisi bisa dimodifikasi agar lebih sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Misalnya, daripada berebut sisa makanan, guru bisa mengajak murid-murid makan bersama, membagikan makanan dengan cara yang adil dan layak.

3. Role Model

Guru harus menjadi teladan dalam memperlakukan murid dengan hormat dan kasih sayang. Dengan begitu, murid-murid akan belajar untuk menghormati guru tanpa harus mengorbankan martabat mereka.

4. Kegiatan Alternatif

Buat kegiatan-kegiatan lain yang bisa menggantikan praktik ngalap berkah tapi tetap mengandung nilai spiritual. Misalnya, doa bersama, meditasi, atau kegiatan sosial yang melibatkan guru dan murid.

Harus ada keseimbangan antara penghormatan tradisi dan tanggung jawab sosial. Tradisi ngalap berkah bisa tetap dijalankan dengan cara yang lebih manusiawi dan etis, sehingga murid-murid bisa merasakan manfaat spiritual tanpa harus kehilangan martabat mereka. Kita semua bisa belajar dari tradisi ini, mengambil nilai-nilai positifnya, dan menerapkannya dengan cara yang lebih sesuai dengan zaman sekarang.

Dengan begitu, kita tidak hanya melestarikan tradisi, tapi juga memastikan bahwa semua pihak yang terlibat merasa dihormati dan dihargai. Semoga dengan upaya bersama, kita bisa menjaga keseimbangan ini dan terus memperkaya kehidupan spiritual kita tanpa melupakan tanggung jawab sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun