Mohon tunggu...
Noer Ashari
Noer Ashari Mohon Tunggu... Lainnya - Kepala Tata Usaha

Mengungkapkan Keresahan Melalui Tulisan

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Fakta atau Mitos? Mengapa Laki-laki Terkesan Lebay Saat Sakit?

26 April 2024   16:06 Diperbarui: 26 April 2024   16:15 6137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: twitter.com/convomfs via tiktok @keonggetter

Pernahkah Anda melihat laki-laki yang terlihat sangat sakit saat demam, bahkan sampai merintih dan tidak mau makan? Sementara itu, wanita yang mengalami demam dengan tingkat yang sama mungkin hanya terlihat sedikit pucat dan lemas. Hal ini sering kali menimbulkan pertanyaan: 

Apakah laki-laki memang berlebihan dalam menunjukkan rasa sakit dibandingkan wanita?

Menurut saya topik ini menarik untuk di bahas karena menyangkut persepsi gender dan bagaimana rasa sakit diinterpretasikan dan diekspresikan oleh laki-laki dan wanita.

Dalam artikel ini, kita akan membahas dan menyajikan sedikit fakta yang menjelaskan mengapa laki-laki mungkin terkesan lebay saat sakit.

Namun, perlu di garis bawahi bahwa setiap orang berbeda dan bagaimana mereka merasakan dan mengekspresikan rasa sakit pun berbeda.

Disini, kita juga akan membahas beberapa faktor psikologis dan sosial yang dapat memengaruhi cara laki-laki menunjukkan rasa sakit.

Tujuan artikel ini adalah untuk memberikan sedikit pemahaman yang lebih baik tentang perilaku laki-laki saat sakit dan untuk mencegah stereotip yang berbahaya.

Apakah Anda siap untuk menyelami dunia rasa sakit dan gender? Siap tenggelam dalam lautan fakta? Mari kita temukan jawabannya bersama!

Mengapa Laki-laki Terkesan Lebay Saat Sakit?

1. Stereotip Gender

Dalam masyarakat, seringkali ada stereotip yang menggambarkan laki-laki sebagai sosok yang kuat dan tidak mudah terganggu oleh rasa sakit. Stereotip ini dapat memengaruhi bagaimana laki-laki diharapkan untuk bereaksi terhadap sakit dan kesehatan mereka secara umum. Ketika laki-laki menunjukkan reaksi yang berlebihan terhadap sakit, hal ini bisa jadi merupakan bentuk penolakan terhadap ekspektasi tersebut.

Stereotip gender juga dapat membuat laki-laki merasa bahwa mereka harus menunjukkan rasa sakit mereka secara lebih dramatis untuk mendapatkan pengakuan dan perhatian. Ini bisa terjadi karena ada anggapan bahwa laki-laki biasanya lebih jarang mengeluh tentang rasa sakit, sehingga ketika mereka melakukannya, mereka merasa perlu menekankan tingkat keparahan kondisi mereka.

Disamping itu, stereotip ini juga bisa mempengaruhi bagaimana orang lain merespons laki-laki yang sakit. Mungkin ada kecenderungan untuk menganggap laki-laki yang menunjukkan rasa sakit sebagai lebay karena tidak sesuai dengan citra “kekuatan” yang sering dikaitkan dengan maskulinitas.

Dengan memahami bagaimana stereotip gender memengaruhi persepsi kita, kita bisa menjadi lebih empatik dan responsif terhadap kebutuhan individu, tanpa terikat pada ekspektasi gender yang kaku.

2. Toleransi Rasa Sakit

Mengapa beberapa orang lebih sensitif terhadap rasa sakit daripada yang lain?

Ternyata, kemampuan seseorang dalam merasakan rasa sakit dapat bervariasi secara signifikan. Berikut tiga faktor yang memengaruhi mengapa beberapa orang lebih sensitif terhadap rasa sakit daripada yang lain:

Pertama, Genetik. Variasi genetik memainkan peran penting dalam sensitivitas terhadap rasa sakit. Sejumlah gen tertentu dapat memengaruhi bagaimana tubuh kita mendeteksi dan merespons rangsangan nyeri. Misalnya, ada varian gen Neanderthal yang memperkuat konduksi impuls saraf dan meningkatkan sensitivitas terhadap rasa sakit pada sebagian kecil populasi manusia. (Sumber

Ini berarti sekitar 31,2 juta orang di dunia mengalami rasa sakit lebih intens daripada mayoritas orang lain.

Kedua, Perbedaan Gender. Perempuan cenderung lebih merasakan sakit daripada laki-laki. Meskipun alasan pastinya belum sepenuhnya dipahami, faktor hormon dan perbedaan struktur saraf mungkin berperan.

Ketiga,Faktor Psikologis. Depresi dan kecemasan dapat membuat seseorang lebih sensitif terhadap rasa sakit. Disamping itu, olahraga juga memengaruhi toleransi terhadap nyeri.

3. Pengalaman Keluarga

Bagaimana pengalaman masa kecil dan lingkungan keluarga memainkan peran dalam perilaku laki-laki saat sakit?

Pengalaman masa kecil dan lingkungan keluarga memiliki dampak yang signifikan terhadap perilaku seseorang, termasuk laki-laki, saat mereka sakit. Berikut adalah tiga cara bagaimana pengalaman ini dapat mempengaruhi:

Pertama, Pola Asuh. Cara orang tua merespons sakit pada masa kecil dapat membentuk bagaimana anak-anak, terutama laki-laki, mengekspresikan rasa sakit di kemudian hari. Jika orang tua cenderung memberikan perhatian lebih ketika anak sakit, anak tersebut mungkin belajar bahwa menunjukkan rasa sakit adalah cara untuk mendapatkan dukungan dan perhatian.

Kedua, Contoh dari Orang Tua. Anak-anak sering meniru perilaku orang tua mereka. Jika ayah atau figur laki-laki lain dalam keluarga menunjukkan perilaku ‘lebay’ saat sakit, anak laki-laki mungkin mengadopsi perilaku serupa sebagai cara normal untuk bereaksi terhadap rasa sakit.

Ketiga, Dukungan Emosional. Lingkungan keluarga yang memberikan dukungan emosional yang kuat dapat memungkinkan anak laki-laki untuk merasa nyaman mengekspresikan rasa sakit dan kelemahan tanpa takut dihakimi.

Pengalaman positif di masa kecil, bahkan di tengah kesulitan, dapat memberikan dasar untuk kesehatan keluarga yang lebih baik di masa dewasa. Maka dari itu, memahami pengaruh pengalaman keluarga dapat membantu kita lebih memahami dan mendukung laki-laki saat mereka sakit.

Dukungan Emosional dan Ekspresi Perasaan

Ketika laki-laki mengungkapkan permintaan maaf saat sakit, ini bisa jadi merupakan ekspresi dari tiga faktor psikologis dan sosial yang mendalam:

Pertama, Pengakuan Kerentanan. Sakit dapat membuat seseorang merasa rentan dan tidak berdaya. Dalam keadaan seperti ini, permintaan maaf mungkin adalah cara untuk mengakui kerentanan tersebut dan mencari dukungan emosional dari orang-orang terdekat.

Kedua, Refleksi Diri. Sakit sering kali memaksa seseorang untuk beristirahat dan merenung. Ini bisa menjadi waktu untuk refleksi diri, di mana laki-laki mungkin mempertimbangkan tindakan masa lalu dan mengungkapkan penyesalan atau permintaan maaf atas kesalahan yang mereka rasa telah dilakukan.

Ketiga, Kebutuhan Afirmasi. Permintaan maaf juga bisa menjadi cara untuk mencari afirmasi atau validasi dari orang lain bahwa mereka masih dicintai dan dihargai, terlepas dari kesalahan atau kekurangan yang mungkin mereka miliki.

Bagaimana perilaku ini memengaruhi lingkungan sekitar? 

Perilaku yang terkesan lebay saat sakit dapat memiliki lima dampak pada lingkungan sekitar, termasuk:

Pertama Dinamika Keluarga. Ketika seseorang, khususnya laki-laki, menunjukkan perilaku berlebihan saat sakit, ini dapat mempengaruhi dinamika keluarga. Anggota keluarga mungkin merasa perlu memberikan perhatian lebih, yang bisa mengubah rutinitas dan interaksi sehari-hari.

Kedua, Empati dan Kesabaran. Perilaku tersebut dapat menguji empati dan kesabaran anggota keluarga atau teman-teman. Mereka mungkin merasa tertekan untuk merespons dengan cara yang mendukung, bahkan jika mereka merasa perilaku tersebut berlebihan.

Ketiga, Persepsi Sosial. Dalam konteks yang lebih luas, perilaku lebay dapat memengaruhi bagaimana seseorang dilihat oleh orang lain. Ini bisa mempengaruhi hubungan sosial dan bagaimana dukungan diberikan oleh teman dan kolega.

Perlu digaris bawahi bahwa setiap orang bereaksi terhadap sakit dengan cara yang berbeda, dan penting bagi lingkungan sekitar untuk menunjukkan pengertian dan dukungan. 

Dari pembahasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa ada beberapa faktor yang dapat membuat laki-laki terkesan lebay saat sakit. Ini termasuk stereotip gender yang ada di masyarakat, perbedaan dalam toleransi rasa sakit yang bisa dipengaruhi oleh genetik dan faktor psikologis, serta pengalaman keluarga yang mempengaruhi bagaimana seseorang mengekspresikan rasa sakit. Disamping itu, permintaan maaf saat sakit bisa menjadi cara untuk mengakui kerentanan, melakukan refleksi diri, atau mencari afirmasi dari orang lain.

Perilaku ini tidak hanya memengaruhi individu yang sakit tetapi juga memiliki dampak pada lingkungan sekitar, termasuk dinamika keluarga dan hubungan sosial. Maka dari itu, penting bagi kita untuk memahami dan mendukung setiap orang, terlepas dari bagaimana mereka mengekspresikan rasa sakit mereka, dengan empati dan tanpa prasangka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun