Di era digital ini, banyak perusahaan mulai mempertanyakan budaya kerja tradisional yang berfokus pada kehadiran di kantor. Para pekerja diharuskan untuk duduk di depan komputer selama 8 jam sehari, 5 hari seminggu, regardless of their productivity.
Namun, apakah budaya kerja ini masih relevan di era modern? Bukankah produktivitas jauh lebih penting daripada kehadiran di kantor?
Bagaimana jika seorang karyawan dapat menyelesaikan semua pekerjaannya dalam waktu 4 jam sehari? Apakah dia harus tetap berada di kantor selama 4 jam berikutnya hanya untuk memenuhi jam kerja?
Pertanyaan-pertanyaan ini memicu perdebatan tentang budaya kerja yang ideal di era modern. Dalam artikel ini kita akan membahas lebih lanjut tentang pentingnya produktivitas dan bagaimana budaya kerja yang fleksibel dapat membantu meningkatkannya.
Sejarah budaya kerja dan pentingnya kehadiran di kantor sangat erat kaitannya dengan perkembangan industri dan teknologi.
Pada awal abad ke-20, dengan munculnya Revolusi Industri, konsep kerja berubah drastis. Orang-orang mulai bekerja di pabrik dan kantor, bukan lagi di ladang atau di rumah.
Kehadiran fisik di tempat kerja menjadi sangat penting karena pekerjaan sebagian besar melibatkan interaksi langsung dengan mesin, bahan, atau orang lain.
Selama abad ke-20, kehadiran di kantor menjadi norma dalam banyak industri. Jam kerja standar dan harapan untuk “waktu wajah” di kantor menjadi bagian integral dari budaya kerja. Kehadiran di kantor sering kali dianggap sebagai indikator dedikasi dan komitmen terhadap pekerjaan.
Namun, dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, konsep kerja jarak jauh dan fleksibilitas tempat kerja mulai mendapatkan popularitas.
Meski demikian, banyak perusahaan dan industri yang masih mempertahankan kebijakan kehadiran di kantor karena berbagai alasan, seperti kolaborasi, supervisi, dan budaya perusahaan.