Â
Kita sering mendengar istilah resiliensi, tapi apa arti resiliensi yang sebenarnya? Ilmuwan psikologi biasanya menggunakan istilah 'lenting' untuk menyepadankan kata resiliensi (resilience), yakni : kemampuan seseorang untuk bangkit setiap kali mengalami desakan mundur, atau bahkan kegagalan.
Saat ini kita menyaksikan betapa potensi teknologi sangat melimpah ruah dalam meningkatkan pembelajaran. Namun, perjalanan menjadi pembelajar untuk mencapai tingkat-tingkat manfaat teknologi tersebut cukup panjang. Kadang  kita akan unggul dalam penggunaannya ketika telah menguasai satu aplikasi teknologi tertentu, namun terkadang juga kita akan merasa ketinggalan dengan suatu aplikasi yang baru yang saling bermunculan. Dan di sinilah kita memerlukan resilien.
Setiap momen keunggulan gunakan sebagai tenaga untuk semakin melaju dan menjelajah sejauh mungkin, tanpa lupa pula untuk menyadari bawah setiap momen ketertinggalan adalah wajar dan kita perlu mengatur untuk tahapan selanjutnya bagaimana kita bisa kembali bangkit menjadi lebih baik dalam mengejar ketertinggalan. Dalam proses untuk mengejar menuju e-learning yang baik, maka peta yang kita gunakan secara umum adalah Kerangka SAMR.
Apakah yang dimaksud dengan Kerangka SAMR menuju pembelajaran yang efektif?
SAMRÂ adalah suatu kerangka yang mengilustrasikan tingkat kematangan seseorang dalam memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran. Tingkat kematangan ini terdiri dari (mulai dari tingkat pemula ke mahir): Substitution, Augmentation, Modification, dan Redefinition. Semakin matang kita dalam memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran, semakin besar peningkatan proses dan hasil yang terjadi dalam pembelajaran.
Seperti halnya dalam kurikulum merdeka saat ini. Kita mengenal begitu banyak lika dan liku sistem dan penggunaan PMM. PMM sendiri merupakan salah satu platform digital yang telah dikembangkan oleh kementerian pendidikan, kebudayaan, riset dan teknologi Republik Indonesia. PMM adalah teman digital bagi para guru atau tenaga pendidik untuk menambah ilmu tentang Kurikulum Merdeka.
Lalu apa kaitannya SAMR dan Resiliensi dengan cara kita memelajari teknologi?
Pertanyaan paling menjebak dalam e-learning adalah aplikasi apa (lagi) yang harus di pelajari untuk mengembangkan pembelajaran? ketika seorang guru terjebak pada pertanyaan ini, berarti ia tersangkut terus-menerus di tingkat Substitution.
Substitution adalah tingkat pertama dari kerangka SAMR. Pada tahap ini guru 'baru' menggunakan teknologi untuk kegiatan pembelajaran yang berfungsi hanya sebagai pengganti 'kehadirannya' di kelas. Contohnya saja pada penggunaan aplikasi Video meeting atau Google meet dengan metode pembelajaran ceramah, yang tidak jauh berbeda dengan yang bisa terjadi di dalam kelas. Artinya guru hanya 'memindahkan' kehadirannya dari tatap muka menjadi tatap maya.
Dampak dari metode ini adalah pemahaman siswa sangat bergantung pada kegiatan pembelajaran yang disampaikan guru dalam Google meet terhadap materi pembelajaran. Tidak ada sesuatu yang menarik dan kreatif yang bisa dikembangkan oleh siswa didik.
Lalu bagaimanakah cara seorang guru menggunakan teknologi (hardware dan aplikasi) yang sudah di pelajari untuk mengembangkan pembelajaran?
Setiap tingkat lanjut (Augmentation, Modification, dan Redefinition) menuntut kita untuk mengubah kegiatan dan/atau tujuan pembelajaran. Mengetahui ini (kegiatan dan tujuan pembelajaran) maka tentu saja akan membantu guru untuk bisa menakar dengan lebih akurat seberapa besar resliensi yang diharapkan menerobos masing-masing tingkat tersebut.
Karenanya sebagai seorang guru, secara perlahan namun pasti hendaknya kita dapat menguasai beragam aplikasi pembelajaran untuk merealisasikan setiap tujuan pembelajaran. Namun apabila terlalu banyak aplikasi pembelajaran yang kita pelajari malah membingungkan, maka akan lebih baik untuk fokus saja pada satu aplikasi yang dianggap paling berperan dalam mencapai sasaran atau tujuan pembelajaran. Langkah selanjutnya adalah menerapkan strategi yang tepat terkait bagaimana cara mengoptimalkan aplikasi tersebut dengan tetap memperhatikan tingkat pemahaman siswa yang berbeda.
Selain itu yang perlu diperhatikan juga adalah bagaimana caranya agar aplikasi pembelajaran yang dirancang mampu merangsang atau menumbuhkembangkan kemampuan kognitif dan keterampilan siswa secara signifikan. Terlalu banyak aplikasi yang digunakan namun dengan metode yang itu-itu saja, maka hasilnya adalah keterbatasan pengembangan kemampuan siswa yang terpaku pada tataran mengingat dan menghafal.
SEMOGA BERMANFAAT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H