Mohon tunggu...
Noenky Nurhayati
Noenky Nurhayati Mohon Tunggu... Guru - Kepala sekolah, Pendongeng, Guru Dan trainer guru

Saya adalah seorang penulis lepas, teacher trainer, MC, pendongeng dan kepala sekolah yang senang mengajar Karena memulai Dunia pendidikan dengan mengajar mulai dari Play group TK SD hingga SMP. Sampai sekarang ini. Saya masih aktif mengajar disekolah SD N BARU RANJI dan SMP PGRI 1 Ranji , Merbau Mataram. Lampung Selatan. LAMPUNG. Saya juga pernah mendapatkan beberapa penghargaan diantarainya Kepala sekolah TK terbaik Se Kabupaten Bekasi, Kepala Sekolah Ramah Anak Se Kabupaten Bekasi, Beasiswa Jambore Literasi Bandar Lampung Tahun 2023 dan Beasiswa Microcredential LPDP PAUD dari Kemendiknas tahun 2022.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Menghentikan Kebiasaan Membentak dan Berteriak Kepada Anak

18 Oktober 2023   20:45 Diperbarui: 18 Oktober 2023   20:49 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat sedang berbicara, saat mengajar, memberikan arahan dan atau menerangkan pelajaran misalnya, sering kali beberapa anak-anak sepertinya tidak ada yang mendengarkan. Sebagian memandang keluar, memainkan benda yang ada di depannya, mencuri-curi berbicara dengan teman yang di seberangnya atau malah jelas-jelas melamun tidak memperhatikan. 

 Meski sudah mencoba menggunakan beberapa trik namun tidak berhasil. Seperti menaikkan volume suara, membuat suara yang berbeda, hingga mengemas pembelajaran secara apik interaktif namun tetap saja ada beberapa anak yang masih tidak memperhatikan dan mengabaikan. Ayah-bunda guru sudah mencoba dengan baik. Sudah mencoba bersabar, sudah mengulanginya berkali-kali, namun tetap saja belum bisa menguasai kelas dengan sempurna. Tentu akan muncul perasaan frustrasi, tidak dihormati, tidak dihargai, dan merasa selesai saja. Pernah merasakan hal yang seperti ini?

 Kedengarannya tidak asing ya? Meskipun ancaman, suap, dan bentakan sering kali merupakan satu-satunya hal yang berhasil, namun akan muncul perasaan bersalah, kesal, dan/atau terputus dari anak-anak setelah melakukannya. Ada rasa puas itu pun hanya sesaat. Segera kita akan menyadari bahwa luapan kekesalan yang telah kita keluarkan sangat tidak efektif dan malah memberikan rasa trauma bagi ayah-bunda guru maupun ananda dan siswa kita di sekolah. Sangat beruntung andainya  bisa membuat anak-anak mau mendengarkan dan bekerja sama tanpa harus menggunakan taktik yang mungkin tidak akan pernah kita gunakan saat kita menjadi guru atau orang tua. Lalu bagaimana caranya agar kita terhindar dari kebiasaan berteriak atau membentak anak dengan suara keras?  

Berikut adalah 7 langkah untuk membantu kita semua mengenali bagaimana mengendalikan diri sendiri dan mengurangi teriakan tetapi lebih banyak melakukan penguatan.

 LANGKAH 1 : Pikirkan tentang situasi yang paling memicu untuk Berteriak/ membentak. 

Dengan mengenali situasinya, mungkin saat itulah ayah bunda dan guru dapat memahami mengapa ananda mengabaikan ucapan ayah-bunda dan guru sesaat setelah ayah-bunda dan guru mengajukan permintaan atau menyampaikan kalimat dan penjelasan. Atau mungkin saat itulah mereka membalas sikap dan tindakan ayah-bunda guru. Sebagai role model, hal ini tidak terlepas dari apa yang ayah-bunda dan guru juga tunjukkan kepada anak-anak. Apakah kita selalu menatap anak-anak dan memberi perhatian saat mereka membutuhkannya. Tentu kita  tidak boleh abai dalam hal ini. Bahasa tubuh dan sikap yang baik pada anak-anak akan mempengaruhi juga kedekatan mereka kepada kita. Peran gadget yang sering kali menyita perhatian juga bisa jadi sebagai pemicu untuk berteriak dan membentak.  

 LANGKAH 2 : Perhatikan perasaan yang muncul. 

Saat situasi yang akhirnya membuat kita secara spontan berteriak dan marah, apa yang kita rasakan? Amarah? Takut? Frustrasi? ke tidak berdaya an? Malu? Hal ini tentu juga akan membuat anak-anak takut dan merasa tidak aman. Meskipun berteriak atau membentak anak adalah bentuk dalam meluapkan emosi dengan tujuan menerapkan disiplin pada anak, namun rasa aman dan takut dapat membuat anak menjadi tidak betah. Tentunya kita semua tidak menginginkan hal ini terjadi. Karena anak-anak yang ketakutan akan sangat mungkin tumbuh menjadi pribadi yang tertutup. Jika anak didik kita memiliki pribadi yang tertutup, maka rasa untuk bercerita dengan orang tuanya atau membangun kedekatan dengan gurunya akan terhambat. 

 LANGKAH 3 : Perhatikan pikiran-pikiran yang muncul. 

Meluapkan emosi secara verbal terhadap anak-anak tentu dapat memiliki efek yang bertahan lama setelah kejadian berlangsung. Bila ayah-bunda guru tidak memperbaikinya maka efek psikologis jangka panjang dari membentak anak bisa memunculkan beragam penyakit psikologis pada anak. Saat anak-anak tidak mengindahkan ucapan dan perkataan yang kita sampaikan memang kita akan merasa kecewa dan kesal sekali. Mungkin di benak kita akan terbesit pikiran-pikiran seperti "Aku tidak percaya mereka melakukan itu! Beraninya mereka! Aku harus mengatasi ini atau anak-anak akan berubah menjadi anak nakal. Mereka terdengar seperti anak manja!"

 LANGKAH 4 : Tantang dan gantikan pemikiran tersebut. 

Untuk meredam pikiran-pikiran tersebut, cobalah ayah-bunda dan guru juga mempertimbangkan bahwa anak-anak masih belajar dan belum memahami cara menghargai dengan benar. Anak-anak tentu memiliki dunianya, keinginannya, bahkan punya masalahnya sendiri. Tetapi mereka bukanlah masalah itu sendiri dan apa yang kita sampaikan mungkin juga bukan merupakan keadaan yang darurat. So what so over? Ayah-bunda dan guru tentu bisa menangani ini dengan tenang dan penuh hormat bahkan harus fokus untuk terhubung sebelum mengalihkan kepada hal -- hal lainnya .

 LANGKAH 5 : Berkomitmen untuk MENJEDA

Walaupun marah dan kesal adalah hal yang sangat manusiawi, namun sebaiknya kita sebagai orang tua dan guru sedapat mungkin menahan diri untuk tidak melakukannya kepada anak (didik) kita. Terlebih jika luapan itu dikeluarkan dalam bentuk ucapan-ucapan yang tidak pantas, kasar, omelan hingga membentak anak. Ketika ayah-bunda berada pada situasi ini dan menemukan salah satu atau hal di atas, cobalah untuk melakukan sesuatu untuk MENJAGA diri ayah-bunda dan guru. Misalnya, dengan menarik napas dalam-dalam, pelan dan teratur, keluar ruangan agar lebih tenang dan bisa berpikir, menghitung sampai 10, memejamkan mata, atau peluk diri sendiri, keluar dan perhatikan sesuatu di alam, mengambil selembar kertas dan tulis sesuatu untuk mengeluarkan pikiran/perasaan atau coret-coret saja tanpa arah! Apa pun yang terbaik yang bisa meredakan emosi yang mencuat. 

 LANGKAH 6: Jika pada akhirnya harus membentak, akui perilaku ini, ambil tanggung jawab dengan meminta maaf.

Beri tahu ananda apa yang akan ayah-bunda dan guru lakukan secara berbeda di lain waktu dan fokuslah untuk menjalin hubungan kembali. Misalnya : Ayah/ bunda sudah membentak mu dan itu tidak baik. Ayah/ bunda minta maaf. Ayah/ bunda  tidak boleh berbicara seperti itu kepadamu, itu tidak sopan. Lain kali, Ayah/ bunda  akan masuk ke ruangan lain dan menarik napas dalam-dalam seperti ini. Ayah/ bunda hanya ingin kamu tahu betapa pentingnya hubungan baik bagi kita semua. 

 LANGKAH 7: Berlatih, berlatih, berlatih, dan bersikap baik pada diri sendiri.

Sebisa mungkin untuk tidak membentak anak apalagi anak didik kita. Karena hal itu akan sangat berpengaruh di masa yang akan datang bagi anak. Ingatkan pada diri sendiri bahwa kita SEMUA melakukan kesalahan. Tidak mudah untuk memutus siklus ini. Anak-anak tentu juga tidak membutuhkan seorang ayah/ bunda ataupun guru yang sempurna. Namun kita hanya berusaha untuk dapat memenuhinya. Bersikaplah lembut terhadap diri sendiri. Mempelajari cara-cara baru untuk tampil membutuhkan waktu. Sebagai orang tua, kita harus dapat menjadi suri teladan bagi anak-anak.

 Berikut adalah 3 hal yang perlu dipikirkan saat ayah-bunda dan guru sedang asyik bersama ananda.

KURANG JANGAN, LEBIH BAIK. 

Ini dapat diterjemahkan bahwa semakin sedikit kata, maka akan semakin baik. Artinya, sebagai orang tua ataupun guru berusahalah untuk menghindari: menguliahi, menjelaskan secara berlebihan, bernegosiasi, menyuap. Namun sebaliknya akan lebih baik berfokus pada validasi dan batasan yang sederhana dan jelas, menerima mereka apa adanya, dan mendukung hal -- hal baik dari mereka.

 FOKUS UTAMA SEBENARNYA ADALAH EMOSI PADA AYAH -BUNDA/ GURU, BUKAN PADA ANANDA. 

Sering kali tujuan pertama ayah-bunda / guru adalah untuk tetap mengendalikan emosi ayah-bunda / guru (bukan mencoba mengendalikan emosi ananda) lalu ayah-bunda / guru bisa bersama-sama, membumi dan tenang, untuk ananda. Ingatkan diri ayah-bunda / guru bahwa ayah-bunda / guru bisa melakukan yang terbaik tanpa harus merusaknya meski terasa sulit 

 PELAJARAN BISA DATANG NANTI. 

Pelajaran artinya : pembelajaran, bimbingan, pembicaraan tentang apa yang terjadi. Itu semua bisa terjadi di kemudian hari, bahkan keesokan harinya. Lupakan target pencapaian jika hanya untuk memaksakan. Tidak perlu memaksakan hal itu terjadi saat ini. Refleksi dan pertumbuhan hanya terjadi ketika kita tenang dan mau. 

Hal-hal sesulit apa pun yang kita lewati di hari itu, akan terasa ringan jika kita tidak memiliki permasalahan dengan diri pula. Ringankan hati untuk terus melangkah bersama ananda. Semoga bermanfaat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun