Kita mengenal motivasi tidak hanya berasal dari dalam diri (intrinsik) namun juga motivasi ekstrinsik. Lingkungan yang baik dan penuh dukungan dapat mengubah motivasi seseorang dalam bertindak dan bertingkah laku.
Sesuai usianya, ananda memang belum memahami kritik sebagai bagian dari perlakukan untuk memotivasi seseorang. Ketika ayah-bunda mencoba untuk memberi arahan dengan menyalahkan apa yang telah dilakukan apalagi secara keras dan tegas belum tentu dapat dipahami oleh ananda sebagai sebuah kritikan yang positif. Kita mungkin memang ingin menerapkan disiplin sejak dini kepada ananda agar ananda kelak dapat lebih memahami sistematika bersikap dan bertingkah laku, Namun disiplin yang keras tidak mengajarkan motivasi intrinsik pada seseorang loh ayah-bunda. Padahal sejatinya membangun motivasi yang kuat harus tumbuh dari dalam diri sendiri. Motivasi diri yang kuat dalam diri akan melawan berbagai rintangan dengan lebih baik.
Ketika ayah-bunda dalam mendidik ananda bereaksi dengan disiplin yang keras terhadap kesalahan langkah ananda, maka sebenarnya ayah-bunda sedang menumpulkan dampak dari konsekuensi alami (perasaan menyesal dan malu) serta membiarkan mereka memproyeksikan perasaan mereka kepada ayah-bunda, biasanya dalam bentuk kemarahan atau kebencian. Ya benar, sikap yang terlalu keras kepada ananda hanya akan melahirkan kemarahan dan kebencian kepada ananda.
Lalu apakah sebagai orang tua, ayah-bunda tidak boleh mendisiplinkan ananda dengan aturan yang ketat dan tegas?
Â
Disiplin keras melahirkan rasa malu.
Apa yang ayah-bunda rasakan ketika ayah-bunda kecil dahulu saat membuat kekacauan, membuat kesalahan, atau membuat kecewa seseorang? Tentu ayah-bunda juga merasa tidak enak karenanya kan? Nah begitu pula yang terjadi dengan ananda ketika mereka berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan ayah-bunda. Namun alih-alih memberikan solusi dan meringankan rasa malu mereka akibat kesalahan yang telah diperbuat, kita justru dan bahkan orang dewasa pada lingkungan sekitar menambahkan dosis kekecewaan, frustrasi, atau kemarahan yang menumpuk saat berusaha mendisiplinkan ananda yang pada akhirnya berhenti menjadi produktif dan mulai merasa seperti rasa malu yang beracun (malahan yang lebih parah adalah tidak membantu memperbaiki perilaku anak). Rasa malu yang tumbuh ini akan mungkin berakibat fatal yang kita tidak akan bisa prediksi akan seperti apa ke depannya.
Â
Disiplin keras dan membuat malu ananda menyebabkan rasa trauma yang tidak perlu.
Â
Reaksi ayah-bunda saat mendapati ananda membuat kesalahan atau menerapkan aturan dengan keras apalagi sampai penghukuman kepada ananda yang tak terelakkan dapat mendorong penyembuhan dan perbaikan, atau justru rasa sakit dan kerusakan ekstra. Karenanya kadang kala sebagai pendidik dan guru di sekolah, saya pun harus menimbang dan memilih hukuman dan perlakuan yang tepat saat menghadapi para siswa. Perlu ada tarik ulur kepada mereka dan tidak bisa menerapkan motivasi yang seragam berkaitan dengan karakter siswa. Ada memang siswa yang dapat di motivasi atau diberi arahan dan bahkan peringatan dengan keras untuk memacunya berprestasi lebih atau menghentikan sikap negatifnya terhadap sesuatu.Â
Â
Namun perlakuan yang tidak tepat, bertindak keras terhadap ananda hanya akan menimbulkan luka dan trauma masa kecil yang kurang baik.Â
Â
Kekerasan dan rasa malu hanya menambah pikiran negatif yang mengarah pada kecemasan dan depresi.
Â
Mungkin saat ayah-bunda menyampaikan kritikan dan masukan kepada ananda, ayah-bunda akan menganggap itu sebagai sesuatu yang biasa saja dan itu untuk kebaikan ananda. Ayah-bunda perlu menimbang lebih jauh tentang hal ini dan berhati-hati. Ketika ayah-bunda berlaku keras kepada ananda, apalagi terjadi di hadapan orang lain maka hal ini hanya akan memberikan beban kepada ananda apakah ayah-bunda benar-benar menyayangi mereka. Tentunya ayah-bunda tidak menginginkan ananda meragukan rasa cinta dan kasih sayang kepada ananda kan? Nah, hindari menggunakan kata-kata yang terlalu bias dan memiliki pemahaman sebaliknya kepada ananda. Â
Kritik internal yang keras membentuk ananda menjadi keras pula.
Ketika kata-kata dan nada kasar yang biasa ayah-bunda terapkan pada ananda menjadi bagian biasa dari saat membuat kesalahan, maka pola seumur hidup ini menjadi kritik diri yang keras berisiko terbentuk pada ananda.Â
Â
Merusak hubungan ayah-bunda dan ananda.Â
Seorang anak memiliki kebutuhan biologis untuk keterikatan yang erat dengan pengasuhnya, orang terdekatnya, yang tentunya adalah ayah dan bundanya. Dan ketika mereka bertemu dengan kritik dan rasa malu, maka bonding atau keterikatan ini akan menjadi rusak. Keterikatan orang tua-anak yang kuat terbentuk atas dasar cinta dan penerimaan tanpa syarat. Dan bukan membentuk anak dengan disiplin keras melalui kritikan dan rasa malu.Â
Â
Semoga Bermanfaat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H