Mohon tunggu...
Yuni Astuti
Yuni Astuti Mohon Tunggu... Perawat - Perawat, sedang belajar merawat hati anak dan keluarga

sedang belajar menulis, ibu dari 4 orang anak, perawat, yun.astuti@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jarkoni, untuk Ibu Menteri Susi

29 Oktober 2014   03:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:21 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hampir seluruh media menyoroti tentang kontroversi menteri merokok. Termasuk saya,  ingin sedikit mengeluarkan uneg-uneg berkaitan dengan kontroversi tersebut.

Saya yakin hampir semua orang di negara kita tahu bahwa merokok tidak baik untuk kesehatan. Akan tetapi, tidak ada jaminan bahwa yang tahu tentang resiko akibat merokok, kemudian tidak merokok. Banyak sekali praktisi kesehatan baik itu dokter atau perawat yang menjadi perokok. (Kalau menteri kesehatan ada yang merokok gak ya..?) Padahal mereka hampir setiap hari mendengung-dengungkan tentang pentingnya hidup sehat. Sesuatu yang munafik, menurut saya.

Apalagi seorang Ibu Susi, yang sekarang jadi  Menteri Bidang Kelautan dan Perikanan. Betapa dunia yang digeluti sebelumnya jauh dari pesan-pesan hidup sehat.

Saya secara pribadi tidak setuju tentang seseorang yang merokok, apalagi jika sang perokok seorang wanita, apapun jabatannya. Seperti yang sering kita baca di berbagai iklan rokok, bahwa merokok tidak hanya bisa membahayakan janin tapi juga membunuh.Itu alasan saya.

Secara etika dan kepatutan, seorang menteri terlebih wanita, merokok di hadapan jutaan mata manusia rasanya kurang pas. Akan tetapi kita juga tidak boleh munafik. Berapa banyak kerabat, teman atau anggota keluarga kita yang merokok tanpa etika..?

Suami merokok dihadapan istrinya yang sedang hamil. Seorang bapak merokok dihadapan anak-anak yang masih balita atau mungkin usia sekolah. Atau bahkan juga  seorang ibu yang sambil mengantar anak sekolah sambil merokok.

Saya yang biasa hidup di kampung, sering menyaksikan nenek-nenek yang merokok  setiap hari. Bahkan lebih ironis lagi sang nenek merokok sambil momong cucunya yang masih balita. Rokok yang dihisapnyapun hanyalah rokok tingwe, nglinthing dhewe ( menggulung sendiri tembakau murni tanpa diolah, dengan kertas khusus untuk merokok). Bisa dibayangkan, betapa banyak racun yang dihisap dan juga dihembuskan oleh sang nenek kepada cucunya..!

Akan tetapi apa yang bisa kita lakukan? tidak ada yang mencegahnya bukan? Bahkan salah satu anggota keluarganya yang jauh, jika berkunjung selalu membawakan tembakau dan teman-temannya sebagai oleh-oleh. Itu kita lakukan dan kita alami hampir setiap hari.

Ibu-ibu, mungkin kita juga akan malu seandainya Ibu Menteri Susi tahu dan bertanya kepada kita "apakah suami ibu merokok..?" dan ternyata kita menjawab "ya". Kemudian kita lebih malu lagi dengan pertanyaan ini "apakah anak ibu pernah diminta bapaknya membelikan rokok..? dan, lagi-lagi kita menjawab "ya". Duuh...! mau diletakkan dimana muka kita. Kita sudah berpanjang-lebar mendiskusikan tentang betapa tidak patutnya beliau, tetapi kita sendiri...?

Apakah contoh-contoh di atas juga sebuah kepatutan? Rasanya kita tidak perlu terlalu khawatir tentang anak-anak kita jika akan mencontoh perilaku Ibu Menteri Susi. Asalkan kita bisa memberikan tauladan yang baik. Benteng yang kuat untuk anak-anak kita justru berasal dari keluarga kita sendiri. Asalkan sedini mungkin benteng kita bangun kuat-kuat, tidak bakal goyah dalam kondisi apapun. Apalagi hanya berita dari media.

Sampai saat saya akan menulis opini ini, anak saya belum tahu siapa itu Ibu Susi Si Kontroversi. Simpel jawabannya, anak saya tidak pernah nonton berita . Paling banter hanya melihat film kartun, Si Bolang, Si Unyil dan Mahabharata. Di rumah saya sengaja jarang nonton berita di televisi. Bagi saya berita-berita TV itu mengerikan. Isinya tentang tawuran, pembunuhan, perkosaan dan korupsi. Dan berita-berita semacam itu mempunyai dampak buruk terhadap perkembangan anak.

Kembali ke kontroversi menteri merokok...

Menurut saya, tidak perlu dihujat habis-habisan mengenai kebiasaan pribadi sang menteri. Toh, dengan hujatan dan kritikan kita tidak akan merubah kedudukan menteri beliau. Bukan berarti saya setuju tentang merokok, bukan... Bukan pula setuju tentang adanya tatto. Hanya sekedar mengingatkan saja bahwa kita tidak lebih baik dari beliau. Prestasi apa yang telah kita sumbangkan pada negara ini...? Sekedar mimpi saja mungkin belum jadi, apalagi aksi. Janganlah kita munafik dan hanya menjadi bang Jarkoni , bisa berujar tapi ora bisa nglakoni ( hanya bisa bicara, tetapi tidak bisa melakukan)

Apakah seorang perokok dan bertatto tidak bisa berkarya lebih baik untuk negara ini..? Kita tunggu saja kinerja beliau, semoga bisa membawa negeri ini ke arah lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun