Demokrasi terbuka menjadi lahan subur tumbuhnya praktek negatif campaign dan Black Campaign. Kampanye negatif menjadi penting dalam tradisi demokrasi untuk membuka secara transparan pemimpin publik atau calon pemimpin, walau masih banyak pihak tidak menyukai praktik negative campaign. Iklan kartu selulet dalam iklan tivi, satu operator saling menunjukkan kelemahan walau tak menyebut langsung prodak saingannya, tetapi sering disimbolkan dengan warna branding saingannya. Semisal warna kuning, merah, hijau dan biru, publik pun dengan mudah menagkap penanda warna itu, dimana warna itu memiliki asosiasi pada produk tertentu. Sisi negatif yang paling banyak diungkapkan dalam iklan operator seluler berkisar pada jaringan, harga, dan bonus quota internet. Iklan negatif itu bagi konsumen bermanfaat bagi konsumensebagai second opinion terhadap iklan kecap
Lalu bagaimana kampanye negatif dalam pentas politik. Memaparkan sisi negatif seorang calon presiden, sangat jamak dilakukan di negara-negara demokrasi yang mempertekkan pemilihan langsung. di Amerika calon dari Partai Demokrat dan Partai Republik menghabiskan sebagian besar belanja iklan untuk kampanye negatif. Diperkirakan sekitar 3 milyar dolar dihabiskan untuk belanja iklan politik di seluruh Amerika, mayoritas iklan itu bernada negatif.
Mengkampanyekan sisi buruk kandidat adalah tindakan yang lazim bagi Negara yang telah memperantekkan demokrasi. Negatif campaign tak lagi dipandang sebagai upaya politik yang tak beretika atau tidak sesuai dengan nilai-nilai ketimuran. Mengampanyekan sisi buruk seorang calon pemimpin, bisa dijadikan penyeimbang dari "jualan kecap" yang dilakukan kandidat presiden. Sebab, seorang calon tentunya akan selalu mengatakan dirinya sebagai kecap nomor satu. Menjelang Pemilu, Pilpres, dan Pilkada para kandidat yang bersaing sengit tak jarang melakukan tindakan yang tak lazim dalam kehidupan keseharianya, hanya ingin disebut pro rakyat.
Lalu bagaimana dengan Indonesia. Ditahun 2007 Wiranto memuat iklan yang cukup menghentak publik soal kemiskinan. Iklan ini dapat dikategorikan sebagai iklan kampanye negatif yang ditujukan pada Pemerintah yang sering mengklaim angka kemiskinan menurun. Iklan kontroversial itu memuat data kemiskinan versi Bank dunia, dalam iklan yang ditayangkan di tv, radio dan media cetak harian menyebutkan angka kemiskinan Indonesia berkisar 49,5 persen dengan asumsi bahwa pendapatn dibawa dua dollar perhari dapat dikategorikan miskin sebagai standar resmi Bank Dunia.
Angka itu tentu melonjak dari angka kemiskinan selama ini diklaim pemerintah. Pemerintah secara resmi memakai standar yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS). Kategori miskin adalah mereka dengan tingkat pengeluaran per kapita per bulan sebesar Rp211.726 atau sekitar Rp7000 per hari. Menurut wiranto, pemakaian standar 2 dollar perhari dengan pertimbangan pembangunan ekonomi Indonesia dibantu negara lain (kompas, 4 desember 2007). Sehingga memakai standar 7 ribu perhari sangat tidak relevan sbagai standar pemerintah.
Iklan yang bombastis ini dinilai oleh pemerintah yang sedang berkuasa sebagai penghancuran karakter. Iklan politik Wiranto idikategorikan sebagai negative campaingn karena menjelaskan angka kemiskinan sesuai standar Bank Dunia, berlawanan dari klaim pemerintah bahwa kemiskina telah berkurang. Perihal iklan ini kemudian ramai diperbincangkan oleh pengamat dan masyarakat, apalgi setelah SBY menanggapi iklan itu sebagai upaya serangan tergahadap pemerintah. Dalam keterangan pers di TMII, SBY menyinggung soal iklan 49,5 persen angka kemiskinan versi bank dunia, menurutnya pemerintah konsisiten memakai standar BPS sebagai rujukan angka kemiskinan (16,5 persen). Atau misalkan pada pilpres 20014 Prabowo disebut terlibat dalam pelanggaran HAM
Negatif campaign pasca reformasi berkembang dengan pesat seiring dibukanya kebebasan infomasi. Kebebasan itu berimplikasi pada keterbukaan, walau sebagian pihak masih tabuh dengan aksi saling menelanjangi didepan publik. Demokrasi langsung memerlukan kompetisi yang sangat ketat untuk memperebutkan calon pemilih, mengigat tradisi pemilihan langsung dan sisitem proporsional terbuka dalam pecalegan meruntuhkan politik oligarki. Kompetisi ketat ini menuntut persaigan yang ketat pula, untuk memperebutkan satu kursi dalam satu dapil misalnya, ada ratusan competitor dari puluhan partai.
Tak jarang ditengah sengitnya kompetisi dalam Pemilu, Pilpres dan Pilkada tak cukup dengan kampanye yang positif saja, atau kampanye tebar pesona di depan umum. Kampanye negatif menjadi penting sebagai penyeimbang dari kampanye positif yang berbasiskan pada pondasi pencitraan. Menurut Lily Romli dari LIPI, kampanye negatif diperlukan untuk mencerdaskan pemilih, memambantu calon pemilih mengidentifikasi figur yang akan dipilih. Walau begitu, menurutnya, masih banyak kandidat capres malu-malu melakukan kampanye negatif secara terus terang atau saling menelanjangi di depan publik. Mengigat kultur pemilih masih ‘melankolis’, para kandidat masih berhitung dua kali untuk melemparkan negative campaign secara langsung. Serangan negatif secara langsung bisa-bisa menjadi blunder bagi citra diri bagi penyerang.
Di Pilpres 2009 misalnya hampir semua kandidat ditimpa negatif campaign, bahkan kompak ramai-ramai memabantahnya. SBY sebagai incumbent pada saat itu mendapatkan porsi negatif campaign yang cukup Bergam. SBY digambarkan sebagai penganut paham ekonomi neo liberal, asumsi itu kemudian diperkuat oleh pasangan wakil presiden Budiono yang dikenal ekonom yang sangat pro terhadap IMF dan pasar bebas. Lalu SBY kemudian diambarkan sebagai pemimpin yang lamban, peragu dan takut untuk mengambil kebijakan yang tegas, tentu berbeda dengan JK yang dikenal gesit. Citra itu kemudian ditegaskan dalam iklan yang dibuat oleh Tim JK-WIN walau tak secara tegas mengarah pada SBY tapi publik sudah mafhum yang dimaksud pemimpin lamban yaitu SBY.
Pasangan Mega juga tak lepas dari aksi kampanye negatif, walau mengusung isu pro kerakyatan tetapi Megawati saat menjabat sebagai presdien mengeluarkan kebijaka yang kontroversial men-divestasi beberapa BUMN seperti Indosat kepada Investor Asing, bahkan dengan alasan tidak ekonomis si Megawati menjual beberapa Tanker milik Pertamina.
Negatif campaign menjelang Pilpres lebih banyak dilakukan oleh tim masing-masing kandidat, walau semua capres merasa diri ditimpa negetif campaign dan mungkin semuanya melakukan aksi negatif campaign yang sama walau tak ada yang mengaku sebagai penebar isu kampanye negatif. Negatif campaign itu terlihat dalam beberapa acara talk show di telivisi, dimana masing-masing tim saling serang soal kebijakan masing capres, mengigat masing-masing pasangan pernah memiliki kedudukan penting di republik.
Megawati dan SBY masing-masing pernah menjadi presiden dalam waktu yang berbeda, dan Wiranto dan Prabowo pernah menduduki kedudukan penting di militer, keduanya pernah memegang peran penting pada sesaat setelah kelengseran ORBA. Maka kedua tokoh ini rawan dengan serangan negatif soal isu 1998 dan pelanggaran HAM Timtim.
Hal yang sama pada Boediono, mantan menteri keuangan dan Gubernur Bank Indonesia. Ia kemudian banyak disebut sebagai pendekar ekonomi neo liberal. Pandangan dan kebijakan ekonominya diduga pro terhadap pasar bebas selama ia menjalankan roda kebijakan ekonomi dalam pemerintahan SBY. Istilah neo liberal awalnya hanya dikenal terbatas dikalangan para akademisi dan dikalangan aktivis sosial lalu kemudian sontak menjadi isu yang sangat hangat di publik. Serangan kampanye negatif itu bukan hanya bersal dari capres saingan, namun juga datang dari para pengamat ekonomi semisal Kwik Kian Gie, Rizal Ramli dan aktivis gerakan masyarakat sipil.
Kampanye hitam tak kalah hebatnya banyak beredar di sekitar kita, wujudnya mudah ditemuka apalagi menjelang hajatan lima tahunan. Pada saat Pilpres pertama tahun 2004, hampir semua kandidat pasangan capres-cawapres merasa menjadi menjadi korban kampanye hitam, entah dari mana dan siapa penebaranya. Isu sentiment agama menimpa SBY dimana ia diragukan keberpihakannya terhadap Islam. Partai Demokrat sebagian besar diisi oleh orang-orang non muslim, belum lagi istri SBY Kristiani Yudhoyono diduga beragama Kristen karena namanya identik dengan nama Kristen.
Pasangan Amien Rais juga ditimpa isu black campaign, dikatakan jika Amien Rais menjadi presiden akan melarang ritual keagamaan warga NU, melarang Barazanji yang sering dilakukan oleh warga NU. Black campaign ini ditujukan pada warga ormas terbesar ini, mengigat Amien Rais mantan Ketua umum PP Muhammadiyah, dan sempat menjadi inisiator pelengseran Gus Dur.
Ditahun 2009 menjelang Pilpres sempat santer kembalis soal isu agama. Istri Boediono, Herawati dikatakan Kristen Katolik. Sebuah selebaran dengan head line “apakah PKS tak tau istri Boediono Khatolik”, selebara itu beredar disaat JK melakukan kampanye di Medan. Tanpa didukung fakta yang jelas selebaran itu dapat dikategorikan sebagai upaya Black Campaign, karena hanya sebagai gossip sensasional tanpa dukungan fakta.
Kampanye negative merupakan vitamin bagi demokrasi, agar masyarakat bisa melihat setiap calon secara holistic dan tidak tertipu oleh citra media yang dibangun oleh tim sukses dan konsultan politik. Bisa jadi citra itu tidak berbasis pada fakta sekedar lipstick, “penelanjangan” masa lalu kandidat sah-sah saja selama dibarengi dengan data. Jika tidak berbasis pada data maka terjerembab pada kampanye hitam dan fitnah
*catatan
kami mengabil data pilpres 2004 dan 2009 spy tdk ada yang sensi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H