Ramadan selalu melahirkan banyak cerita unik. Salah satu kisah yang selalu menarik untuk diceritakan adalah soal toleransi antarumat beragama selama berpuasa.
Tantangan bagi umat muslim yang berpuasa di tengah mayoritas warga beragama Islam boleh dibilang minim perkara. Biasa-biasa saja. Akan tetapi, boleh jadi tidak bagi mereka yang berpuasa di tengah mayoritas masyarakat beragama non-muslim.
Selain karena tuntunan syariatnya berbeda, yang paling mungkin menuai tantangan bagi umat muslim adalah melihat orang lain makan dan minum di siang hari. Atau mesti ikhlas kesulitan mencari kudapan halal untuk sahur dan berbuka.
Kendati terasa sulit, bagaimanapun, puasa mesti tetap dijalani. Puasa merupakan ibadah wajib bagi seluruh umat muslim. Pahalanya juga tidak tanggung-tanggung. Jika dikerjakan dengan niat yang benar, puasa di bulan Ramadan bisa melahirkan ampunan dari Tuhan Yang Mahakuasa.
Meksipun ibadah puasa di Indonesia seakan telah menjadi budaya bangsa, tetapi di beberapa daerah yang masyarakatnya beragama non-muslim, Ramadan tidak ubahnya seperti bulan-bulan biasa.
Tidak ada pasar takjil khusus yang menjajakan menu berbuka. Tiada pula budaya berbuka puasa bersama dengan teman atau kolega. Lantunan azan magrib oleh muazin dari masjid sebagai penanda waktu berbuka juga seringkali hanya terdengar sayup-sayup.
Saya pernah berada di posisi ini. Tepatnya saat bertugas di Manado, Sulawesi Utara, sepuluh tahun silam.
Di sana, saya mesti menunaikan ibadah puasa di tengah warga yang mayoritas memeluk agama Kristen. Bukan hanya sekali-dua kali, empat edisi Ramadan saya lewatkan di Bumi Nyiur Melambai.
Pertanyaannya, apakah saya merasa kesulitan?
Di luar dugaan, jawabannya tidak. Sebab warga Manado dikenal memiliki toleransi umat beragama yang tinggi. Termasuk bagi kaum pendatang beragama muslim seperti saya yang kebetulan tengah mengais rezeki di Manado.