Sorot mata tak berdosa itu jatuh tepat di hadapanku. Beralaskan tikar beratap rumbia, Zidan duduk seraya mengudap kerupuk hambar. Ia merengek meminta jajan. Permen, cokelat, atau camilan manis untuk anak seusianya.
Sambil menghela napas panjang, Lasmini berkata, untuk hari ini, hanya kerupuk yang sanggup ia suguhkan lantaran dagangannya belum banyak dibeli orang.
***
Lasmini adalah pedagang es buah pinggir jalan di sebuah desa bernama Palanjungan Sari, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Allah mengamanahinya dua orang anak lelaki.
Yang sulung bernama Zidan, berusia empat tahun. Sedangkan yang bungsu bernama Hafiz, baru saja beranjak dua tahun. Sehari-hari mereka tinggal di gubuk reyot yang pintu masuknya disulap menjadi kedai es buah kecil bersahaja.
Tepat sebulan lalu, suratan takdir membawaku bertemu Lasmini. Kala itu, aku tengah melaksanakan survei lapang untuk mendata kebutuhan bantuan penanganan tengkes (stunting) yang kantorku kerjakan di Hulu Sungai Utara.
Petugas Pemda membawaku menemui Lasmini dan berkata kedua anaknya masuk ke dalam daftar pemantauan tengkes setempat. Perekonomian Hulu Sungai Utara memang terbilang memprihatinkan. BPS mencatat, jumlah penduduk miskin di sana mencapai lebih dari 15,49 juta jiwa pada 2022.
Kondisi ekonomi yang memprihatinkan itu membuat Hulu Sungai Utara menjadi daerah dengan angka prevalensi tertinggi tertinggi kelima di antara 13 kabupaten/kota di Kalimantan Selatan. Fakta-fakta itulah yang membuatku datang bertemu Lasmini.
Usai memberi salam, aku duduk bersila di atas tikar---yang belakangan baru kutahu difungsikan sebagai alas tidur kedua anaknya. Kami pun memulai obrolan. Dari ceritanya, aku menyimpulkan nasib seakan tak pernah memihak Lasmini.