Mohon tunggu...
Adhi Nugroho
Adhi Nugroho Mohon Tunggu... Penulis - Blogger | Author | Analyst

Kuli otak yang bertekad jadi penulis dan pengusaha | IG : @nodi_harahap | Twitter : @nodiharahap http://www.nodiharahap.com/

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Jejak Karbon dan Transformasi Kolektif

30 Juni 2023   22:55 Diperbarui: 1 Juli 2023   04:07 1479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ayo rawat bumi dengan mengurangi jejak karbon. Sumber: Pixabay/AndreasAux

Bumi terasa kian panas. Padahal, sejak dulu matahari tidak pernah beranak. Usut punya usut, rupanya peningkatan konsentrasi gas rumah kaca jadi biang keladi. Sayangnya, dalam konteks itu, kita semua turut berkontribusi.

Jejak karbon yang kita tinggalkan memicu pemanasan global. Mungkin kita belum sadar. Perkara sepele seperti menyalakan lampu pada malam hari atau menikmati segelas kopi di sudut kedai, ternyata, memberi andil terhadap kenaikan suhu udara.

Kendati terasa kurang logis, faktanya memang demikian. Lampu bisa menyala karena sokongan energi listrik. Menurut Kementerian ESDM, sekitar 67 persen energi listrik nasional masih dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara.

Ketergantungan kita akan batubara berdampak negatif bagi kelestarian alam. Fakta itu terkuak dari laporan Greenpeace yang menyebut, PLTU bertanggung jawab atas hampir separuh (46 persen) total emisi karbon dioksida di dunia. Secara nasional, rata-rata emisi yang dihasilkan PLTU kita mencapai 6.463 juta ton.

Lalu, bagaimana dengan kopi? Untuk menjawab pertanyaan itu, mari kita awali dengan sajian data. Ternyata, tidak semua kopi yang kita nikmati diproduksi di dalam negeri. Data BPS mengungkap, volume impor kopi kita pada 2021 mencapai 13,57 ribu ton. Sebagian besar berasal dari Irak, Brasil, dan Timor Leste.

Distribusi ribuan ton kopi tadi memerlukan transportasi, sebelum sampai ke tangan kita. Umumnya mengandalkan kapal laut. Dalam konteks itulah, jejak karbon tercipta. Agensi Energi Internasional (IEA) mengemukakan, dengan total 646 juta metrik karbon dioksida sepanjang 2020, aktivitas kargo laut internasional punya andil sekitar 2 persen dari produksi karbon dunia.

Celakanya, produksi karbon dunia berpotensi naik seiring memasuki masa endemi Covid-19. Aktivitas manusia berangsur-angsur meningkat, berbanding lurus dengan kebutuhannya. Maka tak heran bila Badan Meteorologi Dunia (WMO) menasbihkan tahun 2022 sebagai tahun terpanas secara global.

Kenaikan suhu bumi pada tahun lalu dilaporkan mencapai 1,15 derajat celsius. Lonjakan suhu itu bahkan lebih tinggi dari suhu pada periode pra-industri, tahun 1850 s.d. 1900. Padahal, tahun lalu kita masih diberkahi dengan fenomena La Nina, atau periode basah global.

Jadi, bisa dibayangkan apa yang terjadi di tahun ini, ketika koin cuaca telah berbalik ke arah El Nino, atau periode kering global. Jika tidak segera diantisipasi, apa yang dikhawatirkan dunia pada Perjanjian Paris berupa akselerasi pemanasan global melampaui 1,5 derajat celsius sangat mungkin terjadi.

Upaya Merawat Bumi

Sebenarnya, bumi punya cara sendiri untuk pulih kembali. Berkaitan dengan pengurangan emisi, ada hutan, tanah, dan lautan yang mampu menyerap karbon secara alami. Secara kumulatif, hutan dan lautan mampu menyerap sekitar 50 persen karbon dioksida yang dipancarkan dari atmosfer bumi.

Hanya saja, kemampuan bumi untuk menyerap karbon kian terkikis. Institut Sumber Daya Dunia (WRI) mencatat, dunia kehilangan 4,1 juta hektare hutan primer tropis sepanjang 2022, atau meningkat 10,8 persen dibanding 2021. Sejak 2002, bumi telah kehilangan tidak kurang dari 60 juta hektare hutan primer, lebih luas dari Pulau Sumatra.

Maka dari itu, kepedulian kita terhadap kelestarian lingkungan harus ditingkatkan. Bahkan wajib menjadi karakter dan budaya kita sejak sekarang. Sebab tiada tempat lain bagi umat manusia untuk melanjutkan kehidupan kecuali di atas muka bumi.

Dalam tataran praktis, menjaga kelestarian lingkungan bersumber dari dua muara. Pertama, di tingkat individu. Kendati tidak bisa dihilangkan sepenuhnya, kita perlu mengurangi atau membatasi penggunaan energi fosil. Misalnya menggunakan kendaraan umum untuk aktivitas sehari-hari.

Mulailah dari hal-hal kecil. Pendingin udara, misalnya. Manfaatkan fitur pengatur waktu sebelum kita tidur agar pendingin udara bisa mati secara otomatis saat kita sudah terlelap. Selain itu, pastikan lampu-lampu di kamar juga mati saat sedang tidak digunakan.

Aksi sesederhana amsal di atas bisa menyelamatkan bumi. Fakta itu terbetik dari jurnal terbitan Energy Research & Social Science. Jumlah karbon dioksida yang bisa dihemat selama Earth Hour, gerakan tidak menggunakan listrik selama sejam, mencapai 754,8 juta ton.

Jurnal itu juga memaparkan sejumlah komparasi mencengangkan. Gerakan Earth Hour secara koletif punya manfaat yang sebanding dengan menanam 27 juta pohon. Jika satu pohon bisa menghasilkan oksigen untuk 177 orang, maka aksi Earth Hour akan menyelematkan 4,8 miliar jiwa dari bencana kekurangan oksigen.

Fakta-fakta tadi semestinya bisa memantik kesadaraan kita agar lebih serius merawat bumi. Terlebih, kita telah memasuki era digital. Sebuah era ketika segala informasi dan ilmu pengetahuan bisa diperoleh secara lebih mudah. Termasuk menghitung jejak karbon atas aktivitas yang kita geluti sehari-hari.

Ya, cukup bermodal gawai dan internet, karbon kalkulator bisa kita temukan dengan mudah. Buka saja situs karbonku.id. Di sana, kita bisa menghitung berapa karbon yang kita produksi. Lengkap dengan komparasi rata-rata produksi karbon per kapita di tingkat dunia maupun kawasan Asia Tenggara.

Dengan data, seharusnya wawasan kita lebih terbuka. Jika gaya hidup kita selama ini ternyata menelurkan karbon yang lebih tinggi dari rata-rata orang di bumi, maka kita perlu segera mengubahnya. Jika tidak, dampak negatif perubahan iklim, seperti cuaca ekstrem dan lonjakan udara panas, akan semakin nyata.

Transformasi Kolektif

Kedua, di tataran kolektif. Sebagai negara hukum, Indonesia telah menempuh sejumlah kebijakan berwawasan lingkungan untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim. Sebut saja insentif kendaraan listrik yang telah bergulir sejak triwulan pertama tahun ini.

Insentif itu di antaranya berupa bantuan terhadap 250.000 sepeda motor listrik agar harga jualnya berada di angka Rp 7 juta per unit. Kebijakan itu bertujuan mengatasi tingginya harga jual kendaraan listrik. Pada 2023, anggaran yang dialokasikan untuk bantuan itu mencapai Rp 1,75 trilun.

Di samping itu, pemerintah juga memberikan keringanan pajak. Bus listrik yang dirakit dengan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) di atas 20 persen hingga 40 persen, diberikan insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 5 persen. Sehingga PPN yang perlu dibayar konsumen menjadi hanya 6 persen saja.

Anggapan bahwa kendaraan listrik akan mendominasi alat transportasi masa depan memang bukan isapan jempol. Pasalnya, dunia semakin memberi perhatian terhadap isu lingkungan. Dan, menurut kalkulasi Transport & Environment (T&E), emisi karbon yang dihasilkan mobil listrik 70 persen lebih rendah ketimbang mobil konvensional.

Oleh karena itu, kita patut mendukung kebijakan itu. Cita-cita mempercepat emisi nol bersih dari 2060 menjadi 2050 memerlukan kesungguhan kolektif dan individual. Jika tercapai, secara ekonomi, akan terjadi penghematan hingga 4 triliun dolar AS, serta menaikkan PDB hingga 5 persen.

Sajian angka-angka sudah terbentang. Sekarang, tinggal satu pertanyaan. Apakah kita sudi gunakan data itu sebagai alat pemicu diri untuk bertransformasi menjadi pribadi yang lebih berwawasan lingkungan? [Adhi]

#jejakkarbonku.id #iesr #generasienergibersih

Referensi:

[1] Laporan Kinerja Kementerian ESDM 2022.

[2] Global Forest Watch, World Research Institute, 2022.

[3] Laporan Standar Ganda yang Mematikan, Greenpeace Indonesia, 2019

[4] Energy Research & Social Science

[5] How Clean are Electric Cars? Transport & Environment, 2022

[6] Global Temperatures Set to Reach New Records in Next Five Years, World Meteorology Organization, 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun