Mohon tunggu...
Adhi Nugroho
Adhi Nugroho Mohon Tunggu... Penulis - Blogger | Author | Analyst

Kuli otak yang bertekad jadi penulis dan pengusaha | IG : @nodi_harahap | Twitter : @nodiharahap http://www.nodiharahap.com/

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Kampung Halamanku Bernama Ibu

25 April 2023   13:11 Diperbarui: 25 April 2023   13:12 2310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mudik ke kampung halaman bersama istri. (sumber: dokumentasi pribadi)

Makna kampung halaman yang sejati bukan merujuk pada suatu lokasi atau tempat tertentu. Kampung halaman yang hakiki mengacu kepada sosok yang membuat kita selalu merindu pulang usai raga diletihkan segudang aktivitas di tanah perantauan.

Bagi saya pribadi, kampung halaman itu bernama Ibu.

***

Well, memang benar. Dari sisi lokasi, saya punya kampung halaman. Letaknya di Kabupaten Bekasi. Di sanalah tempat Ibu tinggal. Sejak sepuluh tahun terakhir, ia tinggal seorang diri karena anak-anaknya, termasuk saya, sudah dewasa.

Kakak saya yang pertama tinggal di dekat rumah Ibu. Punya rumah sendiri. Sedangkan kakak kedua saya tinggal di bilangan Tangerang.

Saya, anak bungsu Ibu, sejak pertama kali bekerja pada 2011, telah merantau ke berbagai daerah. Sebut saja Bandung, Manado, Jakarta, Medan, hingga kini Banjarmasin.

Cita-cita saya sejak SMA memang merantau. Selain jengah dengan kemacetan ibukota dan kota-kota satelitnya, bagi saya, Indonesia begitu luas sehingga kurang pas rasanya jika kehidupan kita hanya terbatas pada seputaran rute Jakarta-Bekasi.

Potret anak-anak Ibu, terpajang di ruang tamu di kampung halaman. Diambil sekitar 17 tahun yang lalu. (sumber: dokumentasi pribadi)
Potret anak-anak Ibu, terpajang di ruang tamu di kampung halaman. Diambil sekitar 17 tahun yang lalu. (sumber: dokumentasi pribadi)

Ada dua fakta historis mengapa saya menasbihkan sosok Ibu sebagai kampung halaman sejati. Pertama, tanpa kehadiran Ibu, saya tidak akan pulang ke rumah. Itu terjadi pada Lebaran tahun lalu.

Kala itu, Ibu memutuskan berwisata keluar negeri jelang Idulfitri. Saya yang mendengar kabar itu dari Ibu, langsung memutuskan untuk tidak pulang ke Bekasi. Saya tetap berlebaran di Banjarmasin, dan mengisi aktivitas cuti bersama dengan berwisata ke Balikpapan.

Saya berpikir, buat apa pulang ke rumah jika sosok yang saya cintai sedang tidak ada di kampung halaman? Karena bagi saya, halalbihalal sejati adalah mencium tangan, meminta maaf, dan mengucapkan selamat Idulfitri kepada Ibu secara langsung.

Kedua, tanpa jaminan keselamatan dan keamanan Ibu, saya tidak akan pulang. Itu terjadi pada Lebaran 2020 dan 2021. Kala itu, larangan mudik Lebaran dicetuskan Pemerintah untuk memitigasi risiko penyebaran pandemi Covid-19.

Sebagai warga negara yang baik, saya pun menaati aturan itu. Saya tetap berada di Medan, tempat saya bertugas kala itu, dan ber-Lebaran dengan Ibu secara virtual. Tidak pulang ke rumah lantaran khawatir akan membawa virus kepada Ibu.

Semula Ibu ingin menjenguk saya ke Medan. Tapi saya larang. Karena khawatir dengan risiko tertular Covid-19 di tengah perjalanan ke Medan. Ibu pun setuju. Dan terpaksa memendam rindu.

Akhirnya Bertemu Melepas Rindu

Lebaran tahun ini terasa sangat spesial. Setelah tiga Lebaran terakhir tertahan di tanah rantau, akhirnya Lebaran ini saya bisa pulang ke kampung halaman dan bertemu Ibu. Menggunakan pesawat, kami (saya dan istri) bertolak dari Banjarmasin menuju Bekasi pada hari kedua cuti bersama.

Mudik ke kampung halaman bersama istri. (sumber: dokumentasi pribadi)
Mudik ke kampung halaman bersama istri. (sumber: dokumentasi pribadi)

Keesokan harinya, tepatnya pada hari terakhir Ramadan, kami berbuka puasa bersama. Aktivitas yang pasti saya agendakan ketika pertama kali bertemu Ibu di kampung halaman. Kami pun melepas rindu.

Sate maranggi menjadi hidangan berbuka puasa kami pada hari terakhir Ramadan. Menu itu adalah pilihan Ibu langsung. Selain tempatnya cukup luas, Ibu memang penggemar sate berbahan dasar daging sapi itu.

Selama berbuka, Ibu bercerita banyak hal. Mulai dari dinamika yang dialaminya selama setahun terakhir, hingga pengalamannya bermain dan berinteraksi bersama cucu-cucunya. Khusus ihwal yang terakhir, Ibu sangat bersemangat.

Maklum saja, sekarang Ibu sudah punya empat cucu. Satu dari kakak saya yang pertama, dan tiga lainnya dari kakak saya yang kedua. Saya meyakini, kehadiran cucu bagi seorang Ibu ibarat mendapat tambahan buah hati baru.

Saya pun bercerita banyak hal kepada Ibu. Bercerita pengalaman dan drama yang saya alami saat bekerja. Tidak lupa, saya juga meminta didoakan supaya bisa kembali bertugas di Medan.

Sebagai orangtua, Ibu pun memberi beberapa nasihat kepada saya. Yang jelas, Ibu selalu berharap dan berdoa kepada Sang Pencipta agar kehidupan pribadi, karier, dan rumah tangga saya selalu dilekati perasaan bahagia. Kata Ibu, itu yang terpenting.

Berbuka puasa bersama pada hari terakhir Ramadan. (sumber: dokumentasi pribadi)
Berbuka puasa bersama pada hari terakhir Ramadan. (sumber: dokumentasi pribadi)

Dan kami bersyukur, dari segudang cerita yang saling kami bagikan, tidak ada satu pun cerita, pemikiran, atau opini soal politik praktis.

Kendati lini masa tengah disesaki berita bernuansa politik usai partai bermoncong putih mendeklarasikan capres berambut putih, tidak ada satu pun kalimat yang keluar dari saya maupun Ibu tentang ihwal itu.

Dengan kata lain, apa yang kami ceritakan benar-benar berangkat dari sisi emosional. Benar-benar berpijak pada kebutuhan batin. Dan, benar-benar berfungsi sebagai sarana pelepas rindu.

Lebaran Bersama Ibu

Keesokan harinya, tepat pada hari Lebaran, saya bersyukur bisa ber-Lebaran bersama Ibu. Usai salat Idulfitri, kami langsung tancap gas ke rumah Ibu. Meminta restu dan memohon maaf atas salah dan khilaf yang diperbuat.

Suasana Lebaran di rumah kami kian hangat dengan kedatangan kedua kakak saya. Mereka datang bersama pasangan dan anak-anaknya. Berbagi sukacita, kami mengisi waktu dengan bermain petasan.

O ya, soal bermain petasan, itu salah satu yang saya rindukan. Lebih tepatnya aktivitas masa kanak-kanak yang tiba-tiba saya rindukan lagi. Kali ini, saya bermain bersama keempat keponakan saya.

Kebetulan, seluruh keponakan saya laki-laki. Paling dewasa kelas empat SD. Saya takjub, di tengah era disrupsi teknologi digital, ternyata mereka masih berminat melakukan aktivitas fisik macam bermain petasan.

Mumpung suasana Lebaran, saya ucapkan selama ber-Lebaran kepada seluruh pembaca artikel saya. (sumber: dokumentasi pribadi)
Mumpung suasana Lebaran, saya ucapkan selama ber-Lebaran kepada seluruh pembaca artikel saya. (sumber: dokumentasi pribadi)

Riuh tawa anak-anak saban petasan meledak mewarnai suasana rumah kami selama Lebaran. Mereka gembira mendengar bunyi petasan. Untungnya, para tetangga sudah mudik ke kampung halaman. Sehingga tidak ada yang merasa terganggu.

Satu-satunya sosok yang terganggu, siapa lagi kalau bukan Ibu. Lebih tepatnya bukan terganggu, melainkan khawatir akan keselamatan saya dan cucu-cucunya. Khawatir meledak di tangan, katanya.

Saya pun meyakinkan Ibu, bahwa kami akan ekstra hati-hati saat bermain petasan. Saya pun melarang keponakan saya untuk berdiri terlalu dekat dengan lokasi ledakan petasan. Sebagai mitigasi dini supaya tetap aman dan nyaman.

Akan tetapi, kehangatan Lebaran di kampung halaman tidak berlangsung lama. Ibu sudah punya agenda berwisata keluar negeri. Sore hari sudah harus tiba di bandara supaya tidak ketinggalan pesawat.

Perasaan saya campur aduk. Antara senang dan sedih. Senang karena bisa bertemu Ibu di Hari Kemenangan setelah memendam rindu selama tiga tahun terakhir. Sedih karena pertemuan dengan Ibu tidak berlangsung terlalu lama.

Biar bagaimanapun, saya tetap mendukung keputusan Ibu. Sebab jalan-jalan adalah salah satu hobi Ibu. Sebagai anaknya, saya menghormati keputusan Ibu. Karena yang terpenting, asalkan Ibu bahagia, saya juga bahagia.

Ibu tengah berpose di Bandara Almaty, Kazakhstan. (sumber: dokumentasi pribadi)
Ibu tengah berpose di Bandara Almaty, Kazakhstan. (sumber: dokumentasi pribadi)

Ibu berkata, ia akan berwisata ke Kazakhstan dan mengunjungi beberapa negara sekitar. Saya ikut bahagia. Sebab anjuran mengunjungi berbagai belahan bumi telah Allah firmankan dalam Surat Al-Mulk ayat 15.

Dengan berwisata, kita dapat mengagumi kebesaran dan keagungan-Nya. Itu pula yang saya akan lakukan untuk mengisi liburan Lebaran. Kendati destinasinya masih sebatas dalam negeri.

Tidak apa-apa. Toh, kita harus bangga berwisata di Indonesia saja. Karena Nusantara sejatinya punya banyak destinasi wisata yang tidak kalah mempesona. Alasan positif lainnya, tentu sektor ekonomi kreatif akan berputar semakin kencang.

Dengan demikian, sampailah kita pada pertanyaan pamungkas. Apa yang saya rindukan dari kampung halaman?

Seperti saya ungkap dalam alinea pertama artikel ini, yang saya rindukan di kampung halaman cuma satu. Yakni melepas rindu bersama Ibu. Titik. [Adhi]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun