Seorang ibu yang menyiapkan kue Lebaran pasti tahu bagaimana sulitnya membuka selotip nastar. Tuan rumah yang menghidangkan sajian halalbihalal kepada handai taulan pasti paham bagaimana sukarnya menguliti selotip nastar.
Saya berani bertaruh, Anda pasti sering merasa jengkel saat membuka selotip nastar. Mulai dari meraba-raba mencari ujung selotip, hingga mengulitinya dengan kuku.
Kalau sudah ketemu ujungnya pun bukan berarti persoalan berakhir sampai di situ. Ketika dikuliti, seringkali selotip nastar putus di tengah jalan. Dan Anda harus mengulangi seluruh prosesnya dari awal.
Hari ini saya merasakan kesulitan dan kesukaran itu. Dihadiahi kue nastar oleh Ibu, butuh waktu sepuluh menit untuk membuka selotipnya. Butuh waktu sepuluh menit sebelum lidah saya merasakan kelezatan manis-asam nastar dari Ibu.
Lalu, iseng-iseng, saya berpikir. Upaya kita membuka selotip nastar sejatinya punya makna serupa dengan nilai-nilai Lebaran. Kesamaan itu saya kerucutkan dalam tiga ihwal. Penasaran?
Pertama: Kita Perlu Bersabar
Lebaran memang bisa dirayakan oleh siapa saja. Yang tidak berpuasa, tidak dilarang merayakan Lebaran. Yang puasanya bolong-bolong, tidak dilarang meramaikan Idulfitri.
Akan tetapi, kemenangan hakiki saat ber-Lebaran hanya bisa didapatkan oleh mereka yang menjalankan ibadah Ramadan dengan sungguh-sungguh. Oleh mereka yang sibuk memanfaatkan peluang yang diberikan Sang Maha Pencipta untuk meraih ampunan.
Kembali kepada kesucian. Itulah makna besar yang terkandung dalam Idulfitri. Hari Kemenangan bagi umat manusia yang berhasil melewati ujian berupa taat terhadap perintah agama selama sebulan penuh.
Ujian berpuasa tidak mudah, Kawan. Apalagi salat malam dan rutin membaca Al-Quran. Oleh sebab itu, kata Nabi, resepnya hanya satu: sabar. Jika kita menjalani semua ujian Ramadan tadi dengan penuh kesabaran, tentu makna kemenangan akan kita peroleh saat Lebaran.