Kata “terbaik” memang bisa diartikan macam-macam. Ada yang bilang harus berpakaian baru dengan alasan tidak ada baju paling baik selain baju baru. Sebagian lain mengatakan, tidak perlu baru, yang penting indah dipandang.
Saya sendiri cenderung mengambil jalan tengah. Jika memang sanggup dan mampu, silakan beli baju baru. Tidak masalah. Boleh-boleh saja. Sah-sah saja.
Akan tetapi, jika sebaliknya, jangan sampai berutang lantas dikejar-kejar penagih utang hanya karena ingin mengenakan sandang baru. Duh, amit-amit!
Oleh sebab itu, sesuaikan dengan isi kantongmu. Tera ulang kemampuan finansialmu. Jujurlah kepada dirimu sendiri, apakah baju baru adalah barang yang benar-benar Anda butuhkan? Yang terpenting, jangan sampai besar pasak daripada tiang gara-gara urusan baju Lebaran.
Kendati sanggup dan mampu, tampaknya Lebaran kali ini saya tidak akan membeli baju baru. Keputusan itu saya buat setelah melihat dan mencermati kondisi lemari. Ternyata, masih banyak baju bagus yang jarang saya kenakan.
Dari sana, saya pun berpikir. Kenapa tidak dikenakan saat Lebaran? Wong, jarang dipakai, kok.
Inspirasi Baju Lebaran
Kata istri saya, baju Lebaran saya tahun ini sudah dibeli sejak tiga tahun lalu. Tapi, jarang saya gunakan karena kurang cocok dengan gaya outfit kantoran. Kebetulan sehari-hari saya memang berprofesi sebagai pegawai kantoran yang sering mengenakan kemeja dan dasi.
Harganya juga cukup terjangkau. Tidak sampai lima ratus ribu perak. Buatan perajin lokal yang kebetulan saya jumpai saat bertugas di Medan, Sumatera Utara.
Warnanya kuning. Kata orang, warna ini erat kaitannya dan diidentikan dengan kebahagiaan dan keceriaan. Oleh sebab itu, rasa-rasanya cocok dikenakan untuk merayakan Hari Kemanangan.