Mohon tunggu...
Adhi Nugroho
Adhi Nugroho Mohon Tunggu... Penulis - Blogger | Author | Analyst

Kuli otak yang bertekad jadi penulis dan pengusaha | IG : @nodi_harahap | Twitter : @nodiharahap http://www.nodiharahap.com/

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Kisah Inspiratif dari Balik Detik-detik Kemerdekaan

9 April 2023   23:23 Diperbarui: 10 April 2023   00:16 1725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (sumber: Wikipedia Commons)

9 Ramadan 1364 Hijriah.

Santap sahur Sayuti Melik hari itu kian terasa hambar. Sejak sepekan terakhir, ia dirundung rasa gelisah. Bibirnya kering, kedua bola matanya memerah. Lantaran kurang tidur dan terlalu banyak merokok.

Sudah hampir pukul satu dini hari, belum ketok palu juga. Masih berdebat pula.

Di hadapannya teronggok mesin ketik tua. Siap menanti aba-aba. Mesin ketik itu baru saja diambilnya kemarin malam dari gedung Konsulat Jerman. Sengaja ia bawa ke rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda karena, kabarnya, naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia akan segera naik tayang.

Tapi, prosesnya tidak semudah itu, Kawan!

Sebenarnya, saat mendengar kabar tentara sekutu menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, asa mengumumkan kemerdekaan Indonesia kian mengangkasa. Apalagi, tepat tiga hari yang lalu, Jepang menyerah kepada sekutu.

Lagipula, barisan pelaksana Indonesia merdeka juga sudah dibentuk dan berkumpul dalam wadah bernama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Tidak kurang dari dua puluh tujuh tokoh bangsa bergabung dalam himpunan yang diinisiasi oleh Soekarno, Mohammad Hatta, dan Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat itu.

Tunggu apa lagi?

Suasana sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (sumber: Wikipedia Commons)
Suasana sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (sumber: Wikipedia Commons)

Kendati sudah dipersiapkan jauh-jauh hari, deraan revisi tidak kunjung berhenti. Bahkan hingga detik-detik terakhir.

Bukan apa-apa. Soekarno berkata, naskah proklamasi bukanlah naskah sembarangan. Naskah proklamasi tidak ubahnya simbol puncak perjuangan rakyat Indonesia dalam mengusir penjajah. Agar Indonesia tidak lagi tertindas dan sanggup berdiri sederajat dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Maka dari itu, naskah proklamasi harus memuat langkah apa yang akan dilakukan Indonesia setelah mengutarakan kemerdekaannya. Sepenting itu sampai-sampai para perumus naskah, terdiri dari Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ahmad Soebardjo; kudu mendapat restu dari para tokoh nasional dan agama.

Desakan terus berdatangan. Dua hari lalu, golongan muda di bawah komando Sukarni dkk. yang kebelet merdeka sampai-sampai mengamankan Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok, Karawang. Mereka mendesak Soekarno dan Hatta agar segera mengumumkan kemerdekaan Indonesia.

Untung saja ada Ahmad Soebardjo.

Diplomat ulung yang jago berorasi dan bernegosiasi itu sukses meyakinkan barisan pemuda bahwa cita-cita memerdekakan Indonesia bukanlah milik kelompoknya saja. Memproklamasikan kemerdekaan Indonesia adalah asa seluruh rakyat Indonesia.

Untuk itu, Ahmad Soebardjo juga memastikan proklamasi kemerdekaan Indonesia akan dihelat pada 17 Agustus 1945. Tapi sebelum itu, biarkanlah Soekarno dan Hatta menyusun naskah proklamasi dengan tenang di rumah Laksamana Maeda.

Dan di sinilah Sayuti Melik berada. Menanti perintah ketik yang belum turun juga.

Satsuki Mishina, asisten rumah tangga Laksamana Maeda sekaligus satu-satunya perempuan yang ada di rumah bersejarah itu, memainkan peran yang tidak kalah penting. Sajian sahur malam itu diracik dari kedua tangannya.

Tidak ada nasi. Yang ada roti, telur, dan ikan sarden. Cukup untuk memasok gizi para penyusun naskah proklamasi. Supaya hasilnya cermat, tidak keliru, dan bisa diterima oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Kendati demikian, tidak ada yang benar-benar menikmati sajian sahur malam itu. Seluruh pikiran, perasaan, dan perhatian sepenuhnya tersita oleh secarik kertas. Secarik kertas yang akan menentukan nasib perjuangan kemerdekaan Indonesia. Secarik kertas yang, jika kontennya berhasil dibacakan pagi nanti, babak baru menanti rakyat Indonesia.

Babak baru berupa mengisi kemerdekaan. Cita-cita mulia yang didambakan oleh semua orang. Termasuk mereka yang lebih dulu gugur di medan perang.

 

Akhirnya Rampung Juga

“Bismillah. Sudah rampung. Ayo, segera diketik!’

Akhirnya, pikir Sayuti Melik. Jam dinding menunjukkan pukul setengah tiga pagi.

Tanpa menunggu aba-aba berikutnya, Sayuti Melik langsung mengambil naskah yang ditulis tangan oleh Soekarno. Memperhatikan dengan seksama kata demi kata. Supaya tidak salah ketik saat menyalin nanti.

Teks proklamasi kemerdekaan terbilang singkat. Hanya dua paragraf. Paragraf pertama berisi pernyataan kemerdekaan. Paragraf kedua berisi sikap dan apa yang akan dilakukan bangsa Indonesia setelah menyatakan kemerdekaannya.

Meskipun hanya dua paragraf, naskah proklamasi punya peran yang sangat penting bagi sejarah bangsa Indonesia. Tonggak baru perjuangan Indonesia dimulai usai naskah proklamasi kemerdekaan dibacakan. Ibarat pintu gerbang yang memisahkan antara zaman penjajahan dengan era kemerdekaan.

Tepat pukul tiga dini hari. Akhirnya rampung juga. Tapi, semburan hormon dopamin belum terasa. Sebab tantangan berikutnya sudah menanti di depan mata.

Tantangan itu berupa menentukan jawaban atas pertanyaan semua orang. Di mana naskah proklamasi akan dibacakan?

Sukarni dan golongan pemuda menginginkan agar naskah proklamasi dibacakan di Lapangan Ikada. Agar rakyat Jakarta bisa berkumpul mendengarkan pengumuman mahapenting itu.

Tapi Soekarno menolak. Pria yang kelak diangkat menjadi Presiden pertama itu khawatir dengan potensi gangguan, gesekan, dan keamanan.

Maklum saja, Lapangan Ikada kala itu masih diduki tentara Jepang. Kendati Kaisar Hirohito sudah menyerah tanpa syarat kepada sekutu, boleh jadi tentara Jepang masih diperintahkan untuk menghalang-halangi kemerdekaan Indonesia.

Akhirnya, para pihak bersepakat, keamanan nomor satu. Sebab pembacaan naskah proklamasi tidak boleh gagal atau tertunda. Singkat cerita, rumah Soekarno yang terletak di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 dipilih sebagai lokasi bersejarah. Pernyataan kemerdekaan Indonesia akan diumumkan di sana.

Pukul sepuluh pagi. Itulah waktu disepakati para pendiri bangsa. Waktu yang dipilih untuk membawa rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaannya.

Pesan Utama

Bagi saya pribadi, dalam konteks kebangsaan, tidak ada satu pun kisah di bulan Ramadan yang lebih inspiratif daripada cerita detik-detik jelang kemerdekaan. Dalam banyak buku sejarah, kita akan menemukan nuansa maju-mundur sebelum naskah proklamasi itu resmi dibacakan.

Kelompok pemuda bilang, siap tidak siap, Indonesia mesti merdeka. Kelompok yang lebih senior berkata, proklamasi kemerdekaan itu bukan perkara gampang. Oleh sebab itu, harus dikalkulasi secara cermat dan dipersiapkan dengan matang.

Cerita selanjutnya mudah diterka. Perbedaan pendapat kian meruncing. Perdebatan antarpihak tidak bisa dihindari. Buktinya, sampai-sampai Soekarno dan Hatta “diculik” kelompok pemuda dan didesak agar segera mengumumkan kemerdekaan Indonesia.

Negosiasi alot terjadi. Jalan tengah diambil. Kendati tidak bisa menyenangkan semua pihak, keputusan harus dibuat. Hingga tepat 17 Agustus 1945, akhirnya naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia itu dibacakan juga.

Dari kisah singkat itu, saya berpandangan ada satu pesan yang sayang kita lewatkan. Pesan itu berbunyi, “Jangan pernah menyia-nyiakan sebuah peluang atau kesempatan, karena boleh jadi datangnya cuma sekali.”

Dalam hidup, seringkali kita menampik sebuah peluang atau kesempatan lantaran belum siap. Padahal, boleh jadi tawaran atau peluang itu tidak akan datang untuk kedua kalinya.

Saya beri satu amsal. Salman Khan, misalnya. Pria asal Amerika Serikat (AS) keturunan India sekaligus pendiri organisasi non-profit bernama Khan Academy itu jeli mengambil peluang dengan memanfaatkan tren digitalisasi untuk mewujudkan mimpinya.

Sejak 2006, ia mulai rajin mengunggah video pembelajarannya lewat YouTube. Ia bercita-cita memberikan pendidikan gratis kepada setiap orang di mana saja. Saat ini, kanalnya punya jumlah subscriber tidak kurang dari 7,8 juta.

Berkat kontribusinya di dunia pendidikan, Khan bahkan memperoleh hibah senilai 3,5 juta dolar AS dari Google serta Bill and Melinda Gates Foundation pada September 2010.

Pertanyaannya, apakah ketika pertama kali mengunggah video ke kanal YouTube-nya, Salman Khan sudah menganggap dirinya sempurna sehingga siap menjadi YouTuber?

Saya pastikan tidak. Sebab mengejar kesempurnaan itu adalah sebuah proses kontinu yang mesti dilakoni anak-cucu Adam sepanjang hayatnya. Akan selalu ada ruang perbaikan sepanjang proses itu dilakukan. Jika menunggu kata siap, Khan Academy pasti gagal berdiri.

Salman Khan, pendiri Khan Academy, organisasi non-profit yang bercita-cita menyediakan pendidikan gratis kepada seluruh orang di dunia (sumber: globo.com).
Salman Khan, pendiri Khan Academy, organisasi non-profit yang bercita-cita menyediakan pendidikan gratis kepada seluruh orang di dunia (sumber: globo.com).

Salam halnya dengan proses kemerdekaan Indonesia. Jika menunggu kata siap, rasanya bangsa kita tidak akan merdeka pada 17 Agustus 1945.

Buktinya, setelah mendeklarasikan diri sebagai bangsa yang merdeka, peperangan masih terjadi di sejumlah wilayah di Nusantara. Rentetan penolakan dari berbagai negara terus berdatangan. Persatuan dan kesatuan bangsa terus dirongrong, bahkan oleh bangsa sendiri.

Belanda saja baru mengakui kemerdekaan Indonesia pada 2 November 1949. Empat tahun lebih setelah Indonesia merdeka. Tepatnya pada gelaran Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.

Tapi, komitmen bangsa Indonesia menyatakan diri sebagai bangsa yang merdeka itulah yang terus dipertahankan hingga kini. Itulah pijakan awal mengisi hari-hari kemerdekaan. Itulah buah dari peluang atau kesempatan yang diambil bangsa Indonesia tatkala Jepang menyerah kepada sekutu.

Jadi, selama peluang atau tawaran itu dirasa baik bagi Anda, katakan saja iya. Jangan menampik atau menolak. Bisa jadi itu cara Tuhan mengangkat derajat Anda supaya menjadi manusia yang lebih baik dan berguna.

Sepakat? [Adhi]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun