Alasan itulah yang membuat kami setia berada di masjid selama salat tarawih berlangsung. Meskipun tidak jarang pula, di tengah-tengah salat, kami cabut bermain perang sarung di halaman masjid atau jajan bakso di seberang jalan.
Yang jelas, tiap Surat An-Nas dibaca tuntas dan doa berpuasa mulai dipanjatkan, kami langsung ngacir masuk ke dalam saf. Khawatir imam keburu pulang. Lagi-lagi demi segores tanda tangan.
Lalu, bagaimana nasib Buku Ramadan zaman sekarang?
Jujur saya tidak begitu tahu persis. Di desa-desa, bisa jadi masih ada. Di kota-kota, nasibnya berbeda. Keponakan saya yang tinggal di kota pernah bercerita, peran Buku Ramadan sudah digantikan dengan kewajiban melapor lewat grup WA.
Yang menjadi admin Grup WA itu adalah guru agamanya. Tiap hari guru agamanya mengabsen seluruh muridnya soal ibadah Ramadan apa saja yang sudah dijalankan. Termasuk salat tarawih.
Ah, lagi-lagi grup WA.
Keliling Kampung atau Kompleks
Saat kecil dulu, ini kegiatan favorit saya mengisi waktu luang saat bulan Ramadan. Yang saya senangi adalah interaksi tatap muka antara saya dan teman-teman sebaya. Dan, jalan-jalan keliling kampung atau kompleks menjadi rutinitas kami dulu.
Jalan-jalan keliling kampung atau kompleks perumahan yang saya maksud punya banyak jenis. Mulai dari menunggu waktu berbuka, bermain sepak bola jelang Magrib, jalan-jalan usai Subuh, hingga membangunkan orang sahur.
Tidak lupa, kami pasti membawa botol kosong, kotak kaleng biskuit, atau benda apa pun yang ditemukan sepanjang jalan, untuk kami sulap menjadi gendang. Supaya berisik. Lantaran kami anggap keren pada zamannya.