“Nodi, kalau Ibu ajak naik haji, kamu mau, kan?”
Mataku menyipit. “Maaf, Bu? Haji?”
“Iya. Pergi haji,” bisik Ibu. “Supaya ada yang jagain Bapak selama di Tanah Suci.”
Aku tercengung. Tubuhku roboh ke pelukan sofa. Aku sadar, ini permintaan yang tidak bisa kutolak dan mesti kusanggupi. Tapi…
“Kalau bukan kamu,” lanjut Ibu tanpa menunggu jawabanku, “siapa yang akan mendorong kursi roda Bapak saat bertawaf nanti?”
***
Andai permintaan Ibu diajukan kepadaku sekarang juga, sudah pasti aku tidak akan berpikir dua kali. Hanya saja, seruan Ibu untuk pergi berhaji dialamatkan kepadaku empat belas tahun lalu. Ketika aku masih duduk di bangku kelas 3 SMA. Masih remaja. Teenager, istilah kerennya.
Bukan apa-apa. Jangankan mencari uang untuk mengisi saldo tabungan haji, lulus sekolah saja belum. Apalagi, ujian kelulusan sudah di depan mata. Mendapat amanat berhaji sejak remaja, terlebih dari orangtua sendiri, bukanlah perkara biasa.
Apa boleh buat. Skenario Tuhan seringkali tak terduga. Kalau sudah berkehendak, siapa pula yang bisa menolak panggilan-Nya?