Desember 2018, dini hari. Pikiran saya kalut diterjang rasa takut. Catatan keuangan saya merekam ada lebih dari satu miliar Rupiah bercokol di sisi pasiva. Andai saya mati esok hari, lantas siapa yang akan melunasi?
***
Bagi kebanyakan orang, fobia saya terhadap utang mungkin terlalu berlebihan. Lebay, begitu kata anak gaul zaman sekarang. Akan tetapi, kecemasan saya lahir bukan tanpa alasan. Kerisauan saya timbul karena satu tilikan sederhana yang lazim diketahui, tetapi sering diabaikan: tiada seorang pun tahu kapan dirinya akan berpulang.
Dari sana, lantas saya berpikir. Apa iya, saya tega membebani istri tercinta dengan setumpuk utang ketika ajal datang menjemput?
Tentu tidak. Jika sebaliknya, maka saya pantas masuk ke dalam barisan manusia egois yang menyangkal bahwa utang, sekecil apa pun jumlahnya, wajib dikembalikan.
Entah mengapa, malam itu sungguh berbeda dari malam-malam sebelumnya. Tiada angin tiada hujan, tiba-tiba gagasan “menolak berutang” menggelayuti batok kepala. Saya pun kebingungan. Sebab sejak pertama kali bekerja delapan tahun silam, saya memang terbiasa hidup dengan gelimang utang.
Tahun pertama bekerja sudah punya kartu kredit. Setahun berikutnya tambah cicilan mobil. Dua tahun setelahnya, kartu kredit saya beranak-pinak menjadi empat biji. Bahkan, saya pun mengambil pinjaman multiguna dari koperasi karyawan di kantor untuk melunasi biaya pernikahan.
Besar pasak daripada tiang. Banyak gaya, banyak pula tekanan. Dua pepatah itulah yang merepresentasikan kehidupan saya kala itu. Yang paling mengenaskan, sudahlah banyak utang, aset pun tak kunjung digenggam. Boro-boro punya rumah, mobil satu-satunya pun terpaksa dijual untuk melunasi biaya penalti ikatan dinas di kantor lama.
Kendati demikian, tidak pernah sekali pun terlintas dalam benak saya perasaan takut berutang. Hanya malam itu saja. Malam ketika saya memutuskan untuk melunasi seluruh saldo utang, dan bertekad hidup tanpa jeratan utang. Selamanya.
Hemat pangkal kaya
Banyak pakar keuangan berujar, tidak apa-apa berutang, asalkan dikelola dengan benar. Tidak apa-apa berutang, asalkan utang produktif, bukan konsumtif.
Andai terpaksa mengambil utang konsumtif pun masih tidak mengapa, asalkan angsurannya dijaga agar tidak melebihi 30 persen penghasilan. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Dulu saya percaya, meskipun pada praktiknya seringkali kebablasan. Sekarang tidak lagi. Saya lebih percaya dengan pepatah kuno yang diajarkan orangtua kita dulu saban memberi sangu sebelum berangkat sekolah: hemat pangkal kaya. Bukan utang pangkal kaya.
Kalian yang seangkatan dengan saya, generasi kelahiran 80-an, pasti masih ingat dengan Buku Tabungan Sekolah. Setiap kali memulai pelajaran, kita diminta menyisihkan uang jajan untuk ditabung. Uang tabungan kemudian disimpan oleh wali kelas, dan baru dicairkan saat pembagian rapor.
Oleh karena itu pula, pembagian rapor jadi momen yang paling menyenangkan dalam masa kecil saya. Jika ada kaset SEGA atau robot-robotan yang ingin saya beli, maka selepas pembagian rapor itulah keinginan saya baru terpenuhi. Tentu saja, sumber dananya berasal dari Buku Tabungan Sekolah. Kalau ternyata masih kurang, orangtua saya pasti nambahin.
Ada perjuangan yang mesti saya lalui untuk sekadar memainkan Sonic The Hedgehog, serial gim yang menjadi ikon SEGA kala itu. Dan, itu membuat saya belajar menghargai arti sebuah perjuangan.
Dengan demikian, jelaslah bahwa sejak dulu kita terbiasa menabung untuk memenuhi keinginan. Bukan dari berutang lantas dicicil menggunakan uang jajan. Mengapa ketika beranjak dewasa kebiasaan baik itu seakan hilang? Berdasarkan pengalaman saya, jawabannya karena rasa takut yang terlampau berlebihan.
Kita takut tidak bisa punya mobil kalau tidak mengandalkan leasing. Kita takut tidak bisa memiliki hunian kalau tidak bergantung pada KPR. Kita takut dicibir orang kalau pesta pernikahan digelar pas-pasan. Kita pun takut dianggap ketinggalan zaman seandainya iPhone terbaru luput dalam genggaman.
Padahal, kenyataannya tidak demikian. Kalau belum punya cukup uang, kita bisa menabung tanpa harus berutang. Persis seperti Buku Tabungan Sekolah dulu. Bukankah kita bisa melewati masa kecil dengan selamat tanpa jeratan utang? Lantas kenapa sekarang megap-megap bak cacing kepanasan?
Lagi pula, masih banyak alternatif yang bisa kita tempuh saat modal masih pas-pasan. Belum mampu membeli rumah, masih ada kos-kosan atau kontrakan untuk berlindung dari terik matahari. Belum sanggup membeli mobil, masih ada sepeda motor atau ojek daring untuk memenuhi kebutuhan transportasi sehari-hari.
Selalu ada jalan asalkan kita mau berlaku jujur dalam mengukur kemampuan. Selalu ada harapan asalkan kita mau bersabar. Jadikan gigih dan sabar sebagai pelantas keinginan di masa depan. Bukan dengan berutang lantas bayarnya gimana entar. Apa salahnya mengencangkan ikat pinggang demi mengejar impian?
Akhirnya lunas juga
Saya terbilang beruntung ketika perasaan takut berutang itu datang. Utang senilai lebih dari satu miliar Rupiah saya peroleh dari fasilitas pinjaman lunak yang diberikan kantor. Mau tahu bunganya berapa? Satu persen saja. Bukan per bulan, apalagi per hari. Satu persen per annum, alias per tahun. Menggiurkan, bukan?
Tak perlu repot-repot mencari aset, cemplungin saja ke dalam deposito atau obligasi. Dijamin pasti untung. Itulah yang saya lakukan selepas pinjaman cair. Tinggal ongkang-ongkang kaki bak rentenir kawakan, dapat selisih bunga yang jumlahnya aduhai. Anggaplah suku bunga deposito berada di kisaran 6 persen-an. Silakan dihitung sendiri selisihnya berapa.
Oleh karena itu, tidak terlampau sulit bagi saya melunasi utang miliaran. Saya hanya perlu mencairkan deposito dan menjual obligasi yang saya miliki, hasil penempatan dana pinjaman tadi. Meskipun demikian, secara hitung-hitungan saya tetap nombok sekitar Rp39 juta untuk melunasi asuransi kredit, salah satu syarat mutlak bagi pegawai yang mengajukan pinjaman lunak di kantor saya.
Kalau hanya mengandalkan ilmu matematika, keputusan saya melunasi utang tampak bodoh bukan kepalang. Sudah enak-enak dapat selisih bunga, eh, malah dilunasi dengan kerugian Rp39 juta. Namun secara batin, saya merasa lebih tenang. Jauh lebih tenang. Andai besok berpulang, saya tidak membebani kehidupan istri saya kelak dengan segunung tagihan.
Seandainya kalian berada di posisi saya, keputusan mana yang akan kalian tempuh? Tetap berutang atau melunasi utang? Silakan tulis di kolom komentar.
Kini, satu setengah tahun sudah saya menjalani hidup tanpa utang. Tidak hanya pinjaman lunak saja yang saya lunasi, kartu kredit empat biji juga saya tutup. Hanya ada ATM, KTP, dan kartu uang elektonik yang tersimpan dalam dompet.
Jadi, bagaimana rasanya menjalani hidup tanpa utang? Well, setiap perubahan pasti melahirkan guncangan. Begitu pula yang terjadi pada saya. Mau tidak mau saya harus lebih cermat mengatur pengeluaran. Sebab tiada lagi kartu kredit yang bisa digesek seenak udel manakala dibutuhkan.
Makan di warteg menjadi kebiasaan baru. Kunjungan ke mal dikurangi, dari seminggu sekali menjadi enam bulan sekali. Setiap pengeluaran, sekecil apa pun, saya catat dengan teliti. Saban gajian, sebagian saya tabung terlebih dahulu, baru kemudian sisanya saya gunakan untuk kebutuhan sehari-hari. New normal, kalau meminjam kosakata yang sering disembur Pemerintah belakangan ini.
Setiap tindakan yang dilakukan secara berulang-ulang pasti melahirkan sebuah kebiasaan. Meskipun awalnya sulit, lambat laun jadi terbiasa. Saya meyakini, kebiasaan baik akan melahirkan kebaikan pula. Itulah yang saya rasakan sekarang.
Berkat kebiasaan menabung, kini uang tabungan saya bernilai hampir sepuluh kali lipat dari gaji bulanan. Capaian terbaik selama lebih dari 9 tahun bekerja. Yang paling membanggakan, tidak ada sepeser pun dari uang tabungan yang dananya berasal dari pinjaman.
Meskipun harus saya akui, hingga saat ini saya masih belum memiliki rumah ataupun mobil. Namun, itu tidak lagi menjadi masalah. Karena ketika menjalani hidup bebas utang, saya tidak lagi tersilaukan dengan rezeki orang. Tidak ada lagi gengsi-gengsi-an. Buat apa? Bukankah rezeki sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa?
Saya percaya, kalau memang rezeki, pasti rumah dan mobil akan terbeli. Yang penting, ikhtiar menjaga kebiasaan menabung dan menahan pengeluaran tetap dilakoni. Dengan sendirinya, apa pun keinginan kita pasti bakal terwujud.
Namun di atas itu semua, perubahan paling mendasar yang saya rasakan ketika menjalani hidup bebas utang adalah menghilangkan kebiasaan bermudah-mudah dalam berutang. Utang memang tidak dilarang, tetapi menganggap enteng utang bisa berakibat fatal.
Sekarang saya tanya, apa pendapat kalian tentang pengemplang utang? Bermulut manis saat meminta pinjaman, pura-pura tidak kenal saat ditagih membayar. Sebel, kan?
Nah, daripada saya tergelincir jadi pengemplang utang, lebih baik saya menghindari utang. Sekalipun berniat baik membayar utang, kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Sebab dengan berutang, kita menggadaikan penghasilan masa depan yang jumlahnya belum pasti, dengan angsuran saat ini yang jumlahnya sudah pasti.
Lebih baik syukuri saja apa yang ada. Jangan lagi terjerat utang hanya karena menuruti keinginan, yang sebenarnya, jauh melebihi kemampuan. Bukankah manusia itu makhluk yang tidak mengenal kata puas? Sudah punya satu gunung emas, pasti mencari gunung emas berikutnya.
Meninggalkan utang membuat hasrat untuk memiliki segalanya tandas tak berbekas. Dengan begitu, kita bisa lebih mensyukuri rezeki yang Tuhan berikan. Dan yang terpenting, kita terbebas dari utang dunia saat menghadap-Nya kelak. Sudah siap? [Adhi]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H