Mohon tunggu...
Adhi Nugroho
Adhi Nugroho Mohon Tunggu... Penulis - Blogger | Author | Analyst

Kuli otak yang bertekad jadi penulis dan pengusaha | IG : @nodi_harahap | Twitter : @nodiharahap http://www.nodiharahap.com/

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Setahun Bebas Utang, Apa Rasanya?

1 Juni 2020   10:48 Diperbarui: 1 Juni 2020   14:21 1668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hutang (Sumber: pxhere.com)

Andai terpaksa mengambil utang konsumtif pun masih tidak mengapa, asalkan angsurannya dijaga agar tidak melebihi 30 persen penghasilan. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Dulu saya percaya, meskipun pada praktiknya seringkali kebablasan. Sekarang tidak lagi. Saya lebih percaya dengan pepatah kuno yang diajarkan orangtua kita dulu saban memberi sangu sebelum berangkat sekolah: hemat pangkal kaya. Bukan utang pangkal kaya.

Kalian yang seangkatan dengan saya, generasi kelahiran 80-an, pasti masih ingat dengan Buku Tabungan Sekolah. Setiap kali memulai pelajaran, kita diminta menyisihkan uang jajan untuk ditabung. Uang tabungan kemudian disimpan oleh wali kelas, dan baru dicairkan saat pembagian rapor.

Oleh karena itu pula, pembagian rapor jadi momen yang paling menyenangkan dalam masa kecil saya. Jika ada kaset SEGA atau robot-robotan yang ingin saya beli, maka selepas pembagian rapor itulah keinginan saya baru terpenuhi. Tentu saja, sumber dananya berasal dari Buku Tabungan Sekolah. Kalau ternyata masih kurang, orangtua saya pasti nambahin.

Buku Tabungan Sekolah memupuk kebiasaan menabung sejak kecil. | Foto: blanja.com
Buku Tabungan Sekolah memupuk kebiasaan menabung sejak kecil. | Foto: blanja.com
Praktik sederhana itu paling tidak mengajarkan kita dua hal. Pertama, belajar menunda keinginan ketika modal masih pas-pasan. Kedua, kesabaran akan melahirkan kesenangan dan kebanggaan yang lebih mendalam dibandingkan hasil instan.

Ada perjuangan yang mesti saya lalui untuk sekadar memainkan Sonic The Hedgehog, serial gim yang menjadi ikon SEGA kala itu. Dan, itu membuat saya belajar menghargai arti sebuah perjuangan.

Dengan demikian, jelaslah bahwa sejak dulu kita terbiasa menabung untuk memenuhi keinginan. Bukan dari berutang lantas dicicil menggunakan uang jajan. Mengapa ketika beranjak dewasa kebiasaan baik itu seakan hilang? Berdasarkan pengalaman saya, jawabannya karena rasa takut yang terlampau berlebihan.

Kita takut tidak bisa punya mobil kalau tidak mengandalkan leasing. Kita takut tidak bisa memiliki hunian kalau tidak bergantung pada KPR. Kita takut dicibir orang kalau pesta pernikahan digelar pas-pasan. Kita pun takut dianggap ketinggalan zaman seandainya iPhone terbaru luput dalam genggaman.

Padahal, kenyataannya tidak demikian. Kalau belum punya cukup uang, kita bisa menabung tanpa harus berutang. Persis seperti Buku Tabungan Sekolah dulu. Bukankah kita bisa melewati masa kecil dengan selamat tanpa jeratan utang? Lantas kenapa sekarang megap-megap bak cacing kepanasan?

Lagi pula, masih banyak alternatif yang bisa kita tempuh saat modal masih pas-pasan. Belum mampu membeli rumah, masih ada kos-kosan atau kontrakan untuk berlindung dari terik matahari. Belum sanggup membeli mobil, masih ada sepeda motor atau ojek daring untuk memenuhi kebutuhan transportasi sehari-hari.

Selalu ada jalan asalkan kita mau berlaku jujur dalam mengukur kemampuan. Selalu ada harapan asalkan kita mau bersabar. Jadikan gigih dan sabar sebagai pelantas keinginan di masa depan. Bukan dengan berutang lantas bayarnya gimana entar. Apa salahnya mengencangkan ikat pinggang demi mengejar impian?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun