Akhirnya lunas juga
Saya terbilang beruntung ketika perasaan takut berutang itu datang. Utang senilai lebih dari satu miliar Rupiah saya peroleh dari fasilitas pinjaman lunak yang diberikan kantor. Mau tahu bunganya berapa? Satu persen saja. Bukan per bulan, apalagi per hari. Satu persen per annum, alias per tahun. Menggiurkan, bukan?
Tak perlu repot-repot mencari aset, cemplungin saja ke dalam deposito atau obligasi. Dijamin pasti untung. Itulah yang saya lakukan selepas pinjaman cair. Tinggal ongkang-ongkang kaki bak rentenir kawakan, dapat selisih bunga yang jumlahnya aduhai. Anggaplah suku bunga deposito berada di kisaran 6 persen-an. Silakan dihitung sendiri selisihnya berapa.
Oleh karena itu, tidak terlampau sulit bagi saya melunasi utang miliaran. Saya hanya perlu mencairkan deposito dan menjual obligasi yang saya miliki, hasil penempatan dana pinjaman tadi. Meskipun demikian, secara hitung-hitungan saya tetap nombok sekitar Rp39 juta untuk melunasi asuransi kredit, salah satu syarat mutlak bagi pegawai yang mengajukan pinjaman lunak di kantor saya.
Kalau hanya mengandalkan ilmu matematika, keputusan saya melunasi utang tampak bodoh bukan kepalang. Sudah enak-enak dapat selisih bunga, eh, malah dilunasi dengan kerugian Rp39 juta. Namun secara batin, saya merasa lebih tenang. Jauh lebih tenang. Andai besok berpulang, saya tidak membebani kehidupan istri saya kelak dengan segunung tagihan.
Seandainya kalian berada di posisi saya, keputusan mana yang akan kalian tempuh? Tetap berutang atau melunasi utang? Silakan tulis di kolom komentar.
Kini, satu setengah tahun sudah saya menjalani hidup tanpa utang. Tidak hanya pinjaman lunak saja yang saya lunasi, kartu kredit empat biji juga saya tutup. Hanya ada ATM, KTP, dan kartu uang elektonik yang tersimpan dalam dompet.
Jadi, bagaimana rasanya menjalani hidup tanpa utang? Well, setiap perubahan pasti melahirkan guncangan. Begitu pula yang terjadi pada saya. Mau tidak mau saya harus lebih cermat mengatur pengeluaran. Sebab tiada lagi kartu kredit yang bisa digesek seenak udel manakala dibutuhkan.
Makan di warteg menjadi kebiasaan baru. Kunjungan ke mal dikurangi, dari seminggu sekali menjadi enam bulan sekali. Setiap pengeluaran, sekecil apa pun, saya catat dengan teliti. Saban gajian, sebagian saya tabung terlebih dahulu, baru kemudian sisanya saya gunakan untuk kebutuhan sehari-hari. New normal, kalau meminjam kosakata yang sering disembur Pemerintah belakangan ini.
Setiap tindakan yang dilakukan secara berulang-ulang pasti melahirkan sebuah kebiasaan. Meskipun awalnya sulit, lambat laun jadi terbiasa. Saya meyakini, kebiasaan baik akan melahirkan kebaikan pula. Itulah yang saya rasakan sekarang.
Berkat kebiasaan menabung, kini uang tabungan saya bernilai hampir sepuluh kali lipat dari gaji bulanan. Capaian terbaik selama lebih dari 9 tahun bekerja. Yang paling membanggakan, tidak ada sepeser pun dari uang tabungan yang dananya berasal dari pinjaman.
Meskipun harus saya akui, hingga saat ini saya masih belum memiliki rumah ataupun mobil. Namun, itu tidak lagi menjadi masalah. Karena ketika menjalani hidup bebas utang, saya tidak lagi tersilaukan dengan rezeki orang. Tidak ada lagi gengsi-gengsi-an. Buat apa? Bukankah rezeki sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa?