Terakhir, inklusivitas. Peta jalan revolusi industri kita, Making Indonesia 4.0, baru fokus pada sektor manufaktur saja. Itu pun belum semua. Masih terbatas pada lima subsektor unggulan: makanan & minuman, tekstil & busana, otomotif, elektronik, dan kimia.
Kondisi ini jauh berbeda dengan Singapura. Dalam cetak birunya---Industry Transformation Maps (ITM)---ada enam klaster industri yang tengah dipicu dan dipacu. Manufaktur, hanyalah satu di antara lima bidang lainnya: lingkungan, perdagangan, layanan domestik, jasa modern, dan gaya hidup.
Kalau ingin maju, kita pun tidak boleh setengah-setengah. Meskipun implementasinya bertahap, paling tidak, potret besarnya sudah tersedia. Bukan dirombak, diperbaiki, atau diganti setiap lima tahun sekali.
Berharap pada Palapa Ring
Banyak jalan menuju Roma. Terlepas dari segudang catatan yang masih perlu dibenahi, sebaiknya kita fokus memanfaatkan keunggulan.
Akses internet, misalnya. World Bank mencatat, harga kuota data internet kita hanya setengah dari rata-rata harga internet di ASEAN.
Rata-rata, kita cukup merogoh kocek senilai 3,4 Dolar AS untuk menikmati 500 megabytes kuota internet. Jauh lebih murah ketimbang Malaysia (26 Dolar AS), Singapura (11,8 Dolar AS), atau Tiongkok (6,2 Dolar AS).
Keunggulan ini bisa dimanfaatkan oleh pelaku industri nasional. Hanya saja, kita masih perlu memangkas ketimpangan akses internet, khususnya di kawasan barat dan timur Indonesia.
Oleh karenanya, kita sungguh-sungguh berharap pada keberhasilan Palapa Ring. Megaproyek senilai hampir Rp 10 triliun itu digadang-gadang menjadi tulang punggung serat optik nasional, membentang dari ujung barat hingga timur Nusantara.
Andai benar rampung akhir tahun ini, ribuan desa siap menikmati akses internet cepat. Puluhan ribu industri kecil mampu memanfaatkan kemudahan ini.