Lantas, faktor apa saja yang menyebabkan Tiongkok dan Singapura unggul? Dan, apa yang bisa kita adopsi dari sana? Paling tidak ada tiga hal.
Pertama, dukungan pendanaan. Di Tiongkok, mayoritas pendanaan modal ventura berasal dari negara. Nantinya, perusahaan modal ventura tersebut akan membenamkan dananya pada start-up potensial.
Pada 2016 saja, sekitar 35,3 persen pendanaan ditopang oleh Pemerintah dan BUMN. Yang menarik, pendanaan bukan hanya berasal dari pemerintah pusat, tetapi juga dari pemerintah daerah.
Dampaknya, jumlah perusahaan rintisan Tiongkok tumbuh pesat. Dari semula 1,76 juta pada 2010, menjadi 5,53 juta pada 2016.
Bahkan, hingga akhir 2017, sudah ada 59 start-up berlabel unicorn dari Negeri Tirai Bambu. Paling banyak di dunia setelah Amerika Serikat (AS) yang punya 109 unicorn.
Kondisi ini jauh berbeda dengan Indonesia. Mayoritas pendanaan perusahaan rintisan kita masih berasal dari luar negeri. Jangankan pemerintah, BUMN saja belum ada yang berani mendanai start-up lokal. Padahal, sama seperti Tiongkok, potensinya sungguh besar.
Kedua, ilmu pengetahuan. Alasan utama mengapa Singapura menjelma menjadi negara paling maju di bidang digitalisasi industri adalah pendidikan. Financial Times menempatkan Nanyang Technology University Singapura pada posisi nomor tiga universitas terbaik se-Asia Pasifik.
Selain itu, untuk menyerap teknologi dari luar, Singapura pandai memainkan posisinya sebagai tuan rumah Industrial Transformation Asia Pasific (ITAP) trade show---pameran teknologi tahunan terbesar se-Asia.
Dalam pagelaran tersebut, berbagai penyedia teknologi nomor satu di dunia tumpah-ruah memamerkan inovasinya. Isu-isu digital terkini seperti keamanan siber, industri pintar, hingga kecerdasan buatan dibahas tuntas.
Dari sana, pelaku industri Singapura banyak belajar. Proses adopsi dan asimilasi teknologi pun berjalan kencang.
Alhasil, meski hanya 100 km2 lebih luas ketimbang Jakarta, Singapura didaulat sebagai negara Asia paling kompetitif selama 7 tahun berturut-turut (The Global Competitiveness Report 2018).