Alhasil, negara penghasil sawit dunia seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Kolombia, dan Nigeria kontan ketar-ketir. Apalagi, Uni Eropa merupakan tujuan ekspor minyak sawit terbesar bagi Indonesia (17,14 persen dari total ekspor sawit nasional), setelah India (24,06 persen).
Upaya Membangkitkan Industri Sawit
Segudang tantangan dan tentangan yang mengemuka, semestinya tidak menyurutkan langkah kita untuk berupaya membangkitkan industri sawit Nusantara. Sebab, pasti akan selalu ada peluang di balik tantangan. Maka, ada empat langkah yang harus dilakukan agar industri sawit tetap menjadi lokomotif ekspor Indonesia.
Pertama, upaya negosiasi dengan Uni Eropa pasca memenangi gugatan internasional. Kita patut bersyukur bahwa pemerintah dan pengusaha sawit lokal tidak tinggal diam tatkala RED II diluncurkan. Dua kali Indonesia mengajukan gugatan---satu di tingkat pengadilan WTO dan satu lagi di tingkat banding Mahkamah Uni Eropa, dua kali pula kita menang.
Jelas, kemenangan ini sangat melegakan. Kini, pemain sawit lokal tidak perlu membayar margin dumping sebesar 8,8---23,3 persen tatkala mengekspor produknya ke Uni Eropa. Akan tetapi, hubungan antara Indonesia dan Uni Eropa tidak serta-merta membaik. Diperlukan upaya negosiasi lebih lanjut untuk meredam kampanye negatif yang terlanjur mengemuka. Pasalnya, kita tidak ingin negara lain di dunia mengikuti langkah Uni Eropa di masa depan. Jangan!
Sebagai awalan, pemerintah telah mewajibkan penggunaan biodiesel B20 untuk menggenjot hilirisasi produk sawit, meningkatkan konsumsi dalam negeri, dan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Ke depan, upaya ini harus terus ditingkatkan.
Kementan sendiri sudah mengambil ancang-ancang. Di hadapan awak media, Sabtu (18/05), Dirjen Perkebunan Kementan Subagyo menegaskan bahwa pihaknya akan memastikan proyek biodiesel B100 terus berjalan. Tentu saja, langkah ini perlu kita dukung dan apresiasi.
Ketiga, perluasan pasar. Fakta membuktikan 75 persen ekspor sawit nasional hanya ditujukan kepada lima kawasan, yakni India (24,06 persen), Uni Eropa (17,14 persen), Tiongkok (15,81 persen), Afrika (8,89 persen), dan Pakistan (8,89 persen). Diperkeruh dengan kampanye negatif yang dihembuskan Uni Eropa, maka sudah seharusnya kita mencari target pasar baru di berbagai belahan dunia.
Beberapa pasar potensial yang bisa digarap lebih dalam adalah Jepang, Korea Selatan, Polandia, Chile, dan Afrika Selatan. Pasalnya, negara-negara tersebut memiliki pertumbuhan ekonomi yang baik di tengah iklim perlambatan ekonomi dunia. Maka, hubungan internasional antara Indonesia dengan sejumlah negara tersebut mesti ditingkatkan.