Mohon tunggu...
Adhi Nugroho
Adhi Nugroho Mohon Tunggu... Penulis - Blogger | Author | Analyst

Kuli otak yang bertekad jadi penulis dan pengusaha | IG : @nodi_harahap | Twitter : @nodiharahap http://www.nodiharahap.com/

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Merintis Jalan Kebangkitan Sawit Nasional

21 Mei 2019   00:07 Diperbarui: 21 Mei 2019   00:35 903
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kelapa Sawit | Foto: pixabay.com/tristantan

Denyut jantung para ekonom berbunyi kencang tatkala BPS merilis data neraca perdagangan terbaru, Rabu (15/05). Setelah dua bulan berturut-turut mencatat surplus, neraca perdagangan Indonesia kembali keok pada edisi April 2019. Tidak tanggung-tanggung, defisit neraca perdagangan menembus angka 2,50 miliar Dolar Amerika Serikat (AS)---paling dalam sepanjang sejarah.

Rapor merah tersebut adalah buah dari melorotnya kinerja ekspor, dari semula 14,12 miliar Dolar AS pada Maret 2019 menjadi 12,59 miliar Dolar AS. Tidak berhenti sampai di sana, kondisi ini kemudian diperparah dengan semakin kencangnya laju impor. Pada April 2019, nilai impor tercatat 15,09 miliar Dolar AS, atau melonjak 1,64 miliar Dolar AS dibanding bulan sebelumnya. Alhasil, besar pasak daripada tiang.

Bila ditilik lebih dalam, melempemnya kinerja neraca perdagangan Indonesia dipengaruhi oleh faktor ketidakpastian global. Sumbernya ada tiga, yakni perlambatan ekonomi dunia, turunnya harga komoditas, dan perang dagang antara AS dan Tiongkok. Ketiga-tiganya mengamputasi kinerja ekspor yang sempat melambung selama dua bulan terakhir.

Neraca Perdagangan Indonesia | Sumber: BPS (2019, diolah)
Neraca Perdagangan Indonesia | Sumber: BPS (2019, diolah)
Lantas, apakah defisit neraca perdagangan berbahaya? Bisa iya, bisa juga tidak.

Iya, kalau defisit berlangsung secara konsisten dan persisten. Kondisi ini akan menyebabkan defisit transaksi berjalan dan tergerusnya cadangan devisa, yang pada gilirannya berujung pada melemahnya nilai tukar Rupiah. Tidak, apabila defisit hanya sesaat dan memiliki tujuan yang jelas, seperti impor dalam rangka stabilisasi harga pada momen tertentu atau membangun infrastruktur produktif.

Masalahnya, cikal bakal konsistensi dan persistensi defisit mulai terlihat jelas, lantaran neraca perdagangan kita sudah tekor 8,69 miliar Dolar AS sejak 2018. Inilah yang membuat kita sulit tidur nyenyak.

Jika mau jujur, faktor ketidakpastian global sebenarnya tidak hanya dialami oleh Indonesia, tetapi juga dirasakan oleh seluruh negara di dunia. Semua ikut terkena imbasnya, tanpa terkecuali. Maka, pilihan yang tersisa untuk kita hanya tinggal dua. Apakah kita mau pasrah menunggu hingga "musim dingin" berlalu? Atau berjuang melakukan sesuatu agar ekspor kembali melaju?

Lika-Liku Ekspor Sawit

Seandainya kita rela memilih yang kedua, maka kita pun harus jeli dalam memilih dan memilah komoditas ekspor yang akan dipacu. Tidak boleh sembarangan, apalagi asal-asalan. Supaya lebih terarah, maka kriteria dan pertimbangannya ada tiga.

Pertama, bersifat terbarukan (renewable), supaya menjamin keberlangsungan pasokan pada masa depan. Kedua, memiliki banyak produk turunan agar semakin banyak opsi penjualan dan diversifikasi potensi pasar internasional. Terakhir, bernilai besar sehingga mampu mengungkit kinerja ekspor secara nasional.

Kalau mau mengacu pada ketiga kriteria tersebut, maka ada satu komoditas pertanian yang paling tepat dijadikan katrol supaya kinerja ekspor kembali bangkit. Ya, apalagi kalau bukan kelapa sawit.

Komoditas Ekspor Terbesar Nasional | Sumber: BI (2019, diolah)
Komoditas Ekspor Terbesar Nasional | Sumber: BI (2019, diolah)
Sejak dulu kala, kelapa sawit memang menjadi tulang punggung ekspor nasional. Sepanjang 2018 saja, pundi-pundi devisa yang dihasilkan minyak sawit mencapai 16,53 miliar Dolar AS, tertinggi setelah batubara (23,97 miliar Dolar AS). Sumbangsih kelapa sawit terhadap ekspor nonmigas juga tidak main-main, yakni mencapai 10,13 persen.

Bila sajian data di atas belum cukup meyakinkan, maka tengoklah kedudukan sawit nasional di kancah dunia. Tidak ada satu pun negara di dunia yang mampu menyaingi Nusantara dalam urusan produksi minyak sawit.

IndexMundi memproyeksikan, pada 2019 produksi sawit nasional akan mencapai 43 juta metrik ton. Jumlah itu setara dengan 56,94 persen suplai minyak sawit dunia. Di posisi kedua, ada Malaysia yang produksinya tidak mencapai setengah dari jumlah produksi Indonesia.

Tingginya produksi sawit nasional turut membawa berkah pada penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian. Bappenas menyebutkan setidaknya ada 16,2 juta penduduk yang menggantungkan rezekinya dari industri kelapa sawit, baik secara langsung maupun tidak langsung. Artinya, ada sekitar 11,90 persen dari total tenaga kerja Indonesia yang bergantung pada sektor kelapa sawit. Dengan kata lain, pasang-surut industri sawit akan turut memengaruhi kondisi ketenagakerjaan nasional.

Hanya saja, kinerja ekspor sawit belakangan tidak bisa dibilang menggembirakan. Mari kita tilik sajian grafik di bawah ini.

Perkembangan Ekspor Sawit Nasional | Sumber: BI (2019, diolah)
Perkembangan Ekspor Sawit Nasional | Sumber: BI (2019, diolah)
Setelah mencatat kinerja yang cemerlang pada 2017---yakni sebesar 18,51 miliar Dolar AS, nilai ekspor minyak sawit kembali turun menjadi 16,53 miliar Dolar AS pada 2018. Padahal, volume ekspor minyak sawit pada periode yang sama boleh dikatakan stabil, yakni sekira 27,89 juta ton, atau meningkat 1,96 persen dibanding tahun sebelumnya.

Lantas, mengapa nilai ekspor sawit bisa turun? Sebagaimana komoditas lainnya---seperti minyak bumi, batubara, dan logam mulia---ekspor sawit sangat dipengaruhi oleh keseimbangan harga. Bila harga minyak sawit mentah (crude palm oil [CPO]) dunia turun, maka korporasi sawit ikut-ikutan babak belur. Sebaliknya bila harga CPO melambung, maka para juragan sawit pasti ketiban untung.

Perkembangan Harga CPO Dunia | Sumber: IndexMundi (2019, diolah)
Perkembangan Harga CPO Dunia | Sumber: IndexMundi (2019, diolah)
Hipotesis tadi sejatinya bisa kita uji lewat grafik di atas. Setelah merasakan nikmatnya ledakan komoditas (commodity boom) pada 2010---2011, harga CPO dunia selanjutnya terjun bebas hingga saat ini.

Peningkatan harga pada 2o14 dan 2017 hanya berlangsung sesaat dan tidak cukup konsisten untuk membawa industri sawit kembali ke masa jayanya. Bahkan boleh dibilang, tahun 2018 adalah masa tersulit yang dialami industri sawit, lantaran pada Desember 2018 harga CPO sempat menyentuh ke titik nadirnya: 535,02 Dolar AS per metrik ton.

Tidak hanya diterpa cobaan koreksi harga ke bawah, industri sawit Indonesia juga tengah dibayangi isu penolakan oleh Uni Eropa. Tahun lalu, pemerintah Uni Eropa baru saja mengeluarkan maklumat Renewable Energy Directives II (RED II). Aturan tersebut mengharuskan negara-negara di Uni Eropa untuk meningkatkan rasio penggunaan energi terbarukan menjadi minimal 20 persen.

Meski biodiesel---salah satu produk turunan sawit---sebenarnya masuk dalam kategori energi terbarukan, pemerintah Uni Eropa tetap mengesampingkan segala bentuk produk turunan sawit. Apa pun jenisnya! Mereka berpendapat bahwa industri kelapa sawit banyak mencederai keasrian dan kelestarian lingkungan.

Alhasil, negara penghasil sawit dunia seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Kolombia, dan Nigeria kontan ketar-ketir. Apalagi, Uni Eropa merupakan tujuan ekspor minyak sawit terbesar bagi Indonesia (17,14 persen dari total ekspor sawit nasional), setelah India (24,06 persen).

Upaya Membangkitkan Industri Sawit

Segudang tantangan dan tentangan yang mengemuka, semestinya tidak menyurutkan langkah kita untuk berupaya membangkitkan industri sawit Nusantara. Sebab, pasti akan selalu ada peluang di balik tantangan. Maka, ada empat langkah yang harus dilakukan agar industri sawit tetap menjadi lokomotif ekspor Indonesia.

Pertama, upaya negosiasi dengan Uni Eropa pasca memenangi gugatan internasional. Kita patut bersyukur bahwa pemerintah dan pengusaha sawit lokal tidak tinggal diam tatkala RED II diluncurkan. Dua kali Indonesia mengajukan gugatan---satu di tingkat pengadilan WTO dan satu lagi di tingkat banding Mahkamah Uni Eropa, dua kali pula kita menang.

Jelas, kemenangan ini sangat melegakan. Kini, pemain sawit lokal tidak perlu membayar margin dumping sebesar 8,8---23,3 persen tatkala mengekspor produknya ke Uni Eropa. Akan tetapi, hubungan antara Indonesia dan Uni Eropa tidak serta-merta membaik. Diperlukan upaya negosiasi lebih lanjut untuk meredam kampanye negatif yang terlanjur mengemuka. Pasalnya, kita tidak ingin negara lain di dunia mengikuti langkah Uni Eropa di masa depan. Jangan!

Berbagai jenis biodiesel. Upaya hilirisasi sawit perlu terus diupayakan.| Foto: katadata
Berbagai jenis biodiesel. Upaya hilirisasi sawit perlu terus diupayakan.| Foto: katadata
Kedua, hilirasasi tanpa henti. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengungkapkan bahwa sekitar 20 persen ekspor produk sawit masih berupa CPO. Rasio ini harus terus diperkecil untuk mengurangi risiko harga CPO dunia yang semakin tak menentu. Salah satu caranya dengan melakukan hilirisasi produk kelapa sawit.

Sebagai awalan, pemerintah telah mewajibkan penggunaan biodiesel B20 untuk menggenjot hilirisasi produk sawit, meningkatkan konsumsi dalam negeri, dan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Ke depan, upaya ini harus terus ditingkatkan.

Kementan sendiri sudah mengambil ancang-ancang. Di hadapan awak media, Sabtu (18/05), Dirjen Perkebunan Kementan Subagyo menegaskan bahwa pihaknya akan memastikan proyek biodiesel B100 terus berjalan. Tentu saja, langkah ini perlu kita dukung dan apresiasi.

Dirjen Perkebunan Kementan Subagyo mengatakan pihaknya akan memastikan proyek biodiesel B100 terus berjalan| Foto: antaranews.com
Dirjen Perkebunan Kementan Subagyo mengatakan pihaknya akan memastikan proyek biodiesel B100 terus berjalan| Foto: antaranews.com
Namun ingat, produk olahan sawit lainnya juga tidak boleh dilupakan. Ada ratusan produk turunan sawit, yang apabila dioptimalkan, akan memberi nilai tambah terhadap kinerja ekspor nasional. Beberapa di antaranya adalah selai, lipstik, mentega, sabun, kue kering, mi instan, dan sampo. Seandainya korporasi sawit lokal bisa memproduksi berbagai barang jadi tersebut, maka nilai ekspor sawit tentulah akan kembali bangkit.

Ketiga, perluasan pasar. Fakta membuktikan 75 persen ekspor sawit nasional hanya ditujukan kepada lima kawasan, yakni India (24,06 persen), Uni Eropa (17,14 persen), Tiongkok (15,81 persen), Afrika (8,89 persen), dan Pakistan (8,89 persen). Diperkeruh dengan kampanye negatif yang dihembuskan Uni Eropa, maka sudah seharusnya kita mencari target pasar baru di berbagai belahan dunia.

Beberapa pasar potensial yang bisa digarap lebih dalam adalah Jepang, Korea Selatan, Polandia, Chile, dan Afrika Selatan. Pasalnya, negara-negara tersebut memiliki pertumbuhan ekonomi yang baik di tengah iklim perlambatan ekonomi dunia. Maka, hubungan internasional antara Indonesia dengan sejumlah negara tersebut mesti ditingkatkan.

Terakhir, intensifikasi lahan sawit. Produktivitas sawit Indonesia masih berkisar antara 2 hingga 4 ton per hektar. Padahal jika dikelola dengan baik, potensinya bisa dua kali lipat, yakni mencapai 8 ton per hektar. Dibanding Malaysia yang sudah mencapai 10 ton per hektar, jelas produktivitas sawit kita masih kalah jauh.

Oleh karena itu, upaya intensifikasi lahan sawit juga tidak kalah penting. Salah satu caranya adalah dengan melakukan program penanaman kembali (replanting) dan peremajaan sawit rakyat (PSR). Plasma sawit dan petani lokal juga harus terus dibina agar target produktivitas yang dicanangkan pemerintah sebesar 5---6 ton per hektar, bisa dicapai dalam waktu dekat.

Apabila keempat langkah tadi dilakukan dengan optimal dan berkesinambungan, maka kita patut optimis. Industri sawit dan pertanian nasional akan menemukan jalan kebangkitannya pada masa depan. Produksi sawit terjaga, variasi produk semakin rupa-rupa, dan kinerja ekspor kembali berjaya. Semoga ini bukanlah sekadar angan-angan belaka, melainkan sebuah keniscayaan yang nyata. [Adhi]

***

Referensi:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun