Bila sajian data di atas belum cukup meyakinkan, maka tengoklah kedudukan sawit nasional di kancah dunia. Tidak ada satu pun negara di dunia yang mampu menyaingi Nusantara dalam urusan produksi minyak sawit.
IndexMundi memproyeksikan, pada 2019 produksi sawit nasional akan mencapai 43 juta metrik ton. Jumlah itu setara dengan 56,94 persen suplai minyak sawit dunia. Di posisi kedua, ada Malaysia yang produksinya tidak mencapai setengah dari jumlah produksi Indonesia.
Tingginya produksi sawit nasional turut membawa berkah pada penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian. Bappenas menyebutkan setidaknya ada 16,2 juta penduduk yang menggantungkan rezekinya dari industri kelapa sawit, baik secara langsung maupun tidak langsung. Artinya, ada sekitar 11,90 persen dari total tenaga kerja Indonesia yang bergantung pada sektor kelapa sawit. Dengan kata lain, pasang-surut industri sawit akan turut memengaruhi kondisi ketenagakerjaan nasional.
Hanya saja, kinerja ekspor sawit belakangan tidak bisa dibilang menggembirakan. Mari kita tilik sajian grafik di bawah ini.
Lantas, mengapa nilai ekspor sawit bisa turun? Sebagaimana komoditas lainnya---seperti minyak bumi, batubara, dan logam mulia---ekspor sawit sangat dipengaruhi oleh keseimbangan harga. Bila harga minyak sawit mentah (crude palm oil [CPO]) dunia turun, maka korporasi sawit ikut-ikutan babak belur. Sebaliknya bila harga CPO melambung, maka para juragan sawit pasti ketiban untung.
Peningkatan harga pada 2o14 dan 2017 hanya berlangsung sesaat dan tidak cukup konsisten untuk membawa industri sawit kembali ke masa jayanya. Bahkan boleh dibilang, tahun 2018 adalah masa tersulit yang dialami industri sawit, lantaran pada Desember 2018 harga CPO sempat menyentuh ke titik nadirnya: 535,02 Dolar AS per metrik ton.
Tidak hanya diterpa cobaan koreksi harga ke bawah, industri sawit Indonesia juga tengah dibayangi isu penolakan oleh Uni Eropa. Tahun lalu, pemerintah Uni Eropa baru saja mengeluarkan maklumat Renewable Energy Directives II (RED II). Aturan tersebut mengharuskan negara-negara di Uni Eropa untuk meningkatkan rasio penggunaan energi terbarukan menjadi minimal 20 persen.
Meski biodiesel---salah satu produk turunan sawit---sebenarnya masuk dalam kategori energi terbarukan, pemerintah Uni Eropa tetap mengesampingkan segala bentuk produk turunan sawit. Apa pun jenisnya! Mereka berpendapat bahwa industri kelapa sawit banyak mencederai keasrian dan kelestarian lingkungan.