Data inflasi bulan Agustus 2018 yang baru saja dirilis oleh Amerika Serikat (AS) pada Kamis (13/9), membuat jantung negara berkembang (emerging markets) berdegup semakin kencang. Pasalnya, laju inflasi yang sebesar 2,7% tersebut, menandakan berlanjutnya tren peningkatan inflasi di negara adidaya itu.
Pasar dan para ekonom semakin yakin, bahwa bank sentral AS akan kembali menaikkan suku bunga acuannya pada 26 September mendatang. Dampaknya, pelemahan nilai mata uang di seluruh negara emerging markets---termasuk Indonesia---tidak bisa dihindari.
Sejumlah langkah antisipasi pun dilakukan agar mencegah Rupiah semakin terpuruk. Dari sisi kebijakan moneter, Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 125 basis points (bps) sepanjang tahun 2018, menjadi 5,50%.
Dalam siaran persnya (15/8), BI menjelaskan bahwa keputusan tersebut bertujuan untuk mempertahankan daya tarik pasar keuangan domestik. Pertanyaannya, benarkah investasi di Indonesia masih menarik?
Salah satu cara untuk mengukur daya tarik investasi adalah dengan membandingkan suku bunga riil (real interest rate) di antara negara emerging markets.
Real interest rate mencerminkan nilai bersih atas imbal hasil investasi, setelah memperhitungkan kenaikan harga-harga barang dan jasa. Dengan suku bunga acuan sebesar 5,50%, dan tingkat inflasi Agustus 2018 sebesar 3,20%, maka real interest rate Indonesia adalah 2,30%.
Dibandingkan dengan real interest rate negara emerging markets lainnya, sebenarnya daya tarik investasi Indonesia cukup menggiurkan.
Mengutip data terkini dari trading economics, real interest rate negara kita masih berada di atas Tiongkok (2,05%) dan Singapura (0,46%).
Daya tarik investasi kita juga tidak terlalu jauh dari Malaysia (2,35%). Beberapa negara emerging markets lainnya bahkan tercatat memiliki real interest rate negatif, yakni Thailand (-0,12%) dan Filipina (-2,40%).
Memang benar, bahwa real interest rate Rusia (4,15%), Meksiko (2,85%), dan India (2,81%) lebih besar dibandingkan Indonesia.