Selasa, 17 Desember 2002. Sengketa panjang kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia sejak tahun 1967 akhirnya diputuskan. Sebanyak 16 dari total 17 hakim International Court of Justice (ICJ) kala itu memilih Malaysia sebagai pemenang.
Bukan suatu kebetulan belaka ketika akhirnya pulau Sipadan dan Ligitan daerah teritorial Malaysia. Sidang panjang ICJ pada waktu itu membahas seluruh aspek menyangkut kehidupan di sana. Mulai dari sejarah, bahasa, pariwisata, dan tentunya mata Uang yang digunakan di pulau yang terletak di selat Makassar tersebut. Sayangnya, perihal terakhir pulalah yang memisahkan kedua pulau mungil tersebut dari pangkuan Ibu Pertiwi. Ringgit lebih berjaya ketimbang Rupiah.
Hari ini, tepat tanggal 17 Agustus 2017, masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Rote hingga Miangas, bersuka cita menyambut hari kemerdekaan. Sudah 72 tahun negeri ini merdeka dari belenggu penjajah. Sang proklamator, Ir. Soekarno, pernah berkata dahulu kala.
"Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Perjuanganmu akan lebih sulit, karena melawan bangsa sendiri."
Apa yang diucapkan sang proklamator ternyata sungguh tepat. Mengisi kemerdekaan bukanlah suatu hal yang mudah. Luasnya Nusantara dan beragamnya suku, adat, tingkah laku, dan bahasa seharusnya menjadi modal utama membangun Negeri, bukan sebaliknya. Kisah pilu sengketa pulau Sipadan dan Ligitan yang berakhir tragis menjadi sebuah contoh dan pelajaran yang sangat berharga bagi semua.
Peringatan hari kemerdekaan ini sudah sepantasnya menjadi sebuah momentum untuk kembali berkaca. Belajar dari sengketa pulau Sipadan dan Ligitan, sejatinya Rupiah harus menjadi tuan rumah di Negeri sendiri. Sebagai salah satu simbol kedaulatan Republik ini, setiap penduduk berhak untuk mendapatkan akses Rupiah dengan mudah. Bukan hanya sekedar akses, namun juga pecahan, nominal, dan kualitas yang layak edar menjadi sebuah pekerjaan rumah yang tidak mudah, terutama di wilayah terluar.
Undang-Undang No.7 Tahun 2011 telah mengamanahkan Bank Indonesia (BI) sebagai satu-satunya lembaga Negara yang bertanggung jawab penuh untuk melakukan pengelolaan Uang Rupiah. Mulai dari tahap perencanaan, percetakan, pengeluaran, pengedaran, pencabutan dan penarikan, hingga pemusnahan. Setiap tahapan dilakukan BI melalui berkoordinasi dengan Pemerintah.
Tantangan BI dalam menyediakan Uang Rupiah hingga ke pelosok Negeri tentunya tidak mudah. Negeri ini terdiri dari 17.000 pulau dengan kondisi infrastruktur yang belum merata menjadi sebuah tantangan yang harus dihadapi. Belum lagi ditambah dengan ketersediaan jaringan kantor kas BI yang baru mencapai 47 kantor. Jumlah tersebut tentunya belum mampu memenuhi kebutuhan Uang Rupiah yang layak edar, pecahan yang sesuai, dan tepat waktu bagi penduduk Indonesia di daerah terluar.
Kas Titipan Menjaga Kedaulatan RupiahÂ
Satu-satunya alternatif mencapai kedaulatan Rupiah adalah menambah skema penyediaan Uang Rupiah itu sendiri. BI tidak boleh lagi hanya mengandalkan dengan skema lama, yaitu menyediakan Uang Rupiah melalui layanan setoran dan bayaran bagi Bank Umum di kantor BI. Seperti diterangkan dalam paragraf sebelumnya, jumlah kantor BI yang terbatas akan menghambat upaya penyediaan Uang Rupiah ke pelosok Negeri.
Untungnya, hal ini telah disadari BI sejak tahun 1992. Disamping penyediaan Uang Rupiah bagi Bank Umum di kantor, BI juga memiliki sebuah skema jitu, yaitu Kas Titipan. Kas Titipan adalah kegiatan penyediaan Uang Rupiah milik BI yang dititipkan kepada salah satu bank umum untuk mencukupi persediaan kas perbankan di suatu daerah. Tujuan utama kas titipan adalah terpenuhinya kebutuhan Uang bagi masyarakat di suatu daerah. Pembukaan kas titipan akan jauh lebih efisien dibandingkan dengan membuka Kantor Perwakilan BI baru di suatu daerah, terutama di daerah terluar.