"Bagi manusia, keadaan alamiah bukanlah keadaan damai, melainkan perang." -Immanuel Kant
Partisipasi perempuan Scythian dalam pertempuran menunjukkan bahwa asosiasi antara perang dan peran gender merupakan suatu konstruksi sosial, bukan kodrat manusia. Namun, apakah contoh Perempuan Scythian merupakan pengecualian dan bukan normanya? Apakah anggapan "laki-laki sejati berperang" merupakan kodrat atau produk dari budaya belaka?
Beberapa pakar mencoba untuk menjawab pertanyaan tentang kodrat laki-laki untuk berperang dari perspektif psikologi evolusioner. Melalui Male Warrior Hypothesis, Mark van Vugt merumuskan bahwa laki-laki memiliki mekanisme psikologis untuk merencanakan, memulai, dan melaksanakan tindakan agresi terhadap manusia lain dari kelompok luar (out-group).Â
Tindakan agresi ini bertujuan untuk memperoleh dan melindungi sumber daya reproduksi kelompoknya (kelompok in-group). Argumen serupa juga disampaikan oleh Richard Wrangham dan Dale Peterson dalam "Demonic Males" dan Keith Otterbein melalui "Hawks and Doves".Â
Skenario Manusia Primitif
Berdasarkan teori-teori di atas, kata kuncinya adalah "out-group dan in-group". Oleh karena itu, tidak salah untuk menyimpulkan bahwa eksistensi out-group menjadi penentu dari munculnya peperangan. Hal tersebut masuk akal karena manusia biasanya berperang dengan manusia lain yang berbeda dengan diri mereka sendiri.
Akan tetapi, teori-teori di atas gagal dalam mempertimbangkan adanya unit sosial sebelum mengenal konsep "out-group". Di dalam masyarakat manusia primitif, unit sosial terbesar merupakan puak (tribe) yang bahkan tidak mencapai 100 jiwa. Interaksi antarpuak belum terbentuk sehingga perang tidak mungkin terjadi. Oleh sebab itu, laki-laki biasanya tidak memiliki dorongan untuk melindungi sumber daya reproduksi mereka dari laki-laki out-group
Tentu saja, perang antaranggota puak dapat saja terjadi. Namun, jika suatu puak bahkan tidak mencapai 100 jiwa, konflik antara laki-laki tersebut menjadi hal merugikan yang pasti dihindari.Â
Bayangkan, jika dua orang laki-laki saling berkonflik untuk melindungi sumber daya reproduksi mereka, pihak yang kalah tetap harus menetap di dalam puak yang penuh dengan "musuh". Hal ini disebabkan karena di dalam masyarakat primitif, suatu puak tidak mengenal puak lain atau kelompok out-groupnya.Â
Untuk menghindari situasi yang tegang dan canggung, manusia akan selalu menghindari konflik dan perang dengan sesamanya. Oleh sebab itu, manusia (laki-laki) memiliki kodrat untuk menghindari konflik dan perang dengan sesamanya.