Perang bukanlah fenomena yang baru di dalam masyarakat. Meskipun menyebabkan kerugian materi yang luar biasa, perang menjadi bagian integral dari sejarah kehidupan manusia.Â
Selama beberapa tahun terakhir, ketegangan geopolitik menyebabkan perang di berbagai belahan dunia. Meskipun dimensi dan sifat di setiap belahan dunia dapat berbeda-beda, ada satu dimensi yang selalu sama: peran gender dari para prajurit.
"Perang bukanlah sejarah perempuan." -Virginia Woolf
Kata-kata Woolf di atas menunjukkan realitas perang di dunia ini. Meskipun partisipasi perempuan dalam perang kini meningkat karena adanya upaya kesetaraan gender, Â mayoritas prajurit perang tetap didominasi oleh laki-laki. Realitas ini memunculkan satu pertanyaan esensial: mengapa perang seringkali diasosiasikan dengan maskulinitas? Pada kenyataannya, anggapan bahwa laki-laki harus berperang memiliki latar belakang yang berbeda-beda, bergantung pada konteks setiap masyarakat.Â
Mengapa Laki-Laki?
Menurut antropolog Richard Brian Ferguson, perang seringkali diasosiasikan dengan maskulinitas karena adanya tuntutan fungsional dari pertempuran. Secara historis, perempuan yang sedang hamil atau mengasuh anak dianggap tidak layak untuk bertempur. Oleh sebab itu, ketika terjadi perang, laki-laki lah yang harus bertempur. Ekspektasi ini menjelaskan mengapa laki-laki berpartisipasi dalam wajib militer di beberapa negara, seperti Finlandia, Korea Selatan, dan Turki.
Namun, penjabaran di atas bukanlah aturan yang universal. Di dalam masyarakat tertentu, perempuan lah yang justru berpartisipasi dalam peperangan. Misalnya, di dalam peradaban kuno, perempuan Scythian bertempur bersama dengan laki-laki sebagai prajurit. Bahkan, perempuan Scythian seringkali memegang kekuasaan politik.
Lalu, jika perempuan dianggap tidak dapat memenuhi tuntutan fungsional dari pertempuran, mengapa perempuan Scythian berperang bersama dengan laki-laki? Salah satu penjelasan yang memungkinkan adalah kehidupan nomaden dari masyarakat Scythian.Â
Karena sifat nomaden masyarakat Scythian, semua anggota komunitas, baik laki-laki maupun perempuan, diharapkan untuk berpartisipasi dalam pertahanan komunitas. Peran gender yang terlalu kaku justru menjadi hal yang kurang praktis. Oleh sebab itu, hubungan antara perang dan maskulinitas tidaklah universal dan sifatnya sangat relatif.
Peran Evolusi
"Bagi manusia, keadaan alamiah bukanlah keadaan damai, melainkan perang." -Immanuel Kant
Partisipasi perempuan Scythian dalam pertempuran menunjukkan bahwa asosiasi antara perang dan peran gender merupakan suatu konstruksi sosial, bukan kodrat manusia. Namun, apakah contoh Perempuan Scythian merupakan pengecualian dan bukan normanya? Apakah anggapan "laki-laki sejati berperang" merupakan kodrat atau produk dari budaya belaka?
Beberapa pakar mencoba untuk menjawab pertanyaan tentang kodrat laki-laki untuk berperang dari perspektif psikologi evolusioner. Melalui Male Warrior Hypothesis, Mark van Vugt merumuskan bahwa laki-laki memiliki mekanisme psikologis untuk merencanakan, memulai, dan melaksanakan tindakan agresi terhadap manusia lain dari kelompok luar (out-group).Â
Tindakan agresi ini bertujuan untuk memperoleh dan melindungi sumber daya reproduksi kelompoknya (kelompok in-group). Argumen serupa juga disampaikan oleh Richard Wrangham dan Dale Peterson dalam "Demonic Males" dan Keith Otterbein melalui "Hawks and Doves".Â
Skenario Manusia Primitif
Berdasarkan teori-teori di atas, kata kuncinya adalah "out-group dan in-group". Oleh karena itu, tidak salah untuk menyimpulkan bahwa eksistensi out-group menjadi penentu dari munculnya peperangan. Hal tersebut masuk akal karena manusia biasanya berperang dengan manusia lain yang berbeda dengan diri mereka sendiri.
Akan tetapi, teori-teori di atas gagal dalam mempertimbangkan adanya unit sosial sebelum mengenal konsep "out-group". Di dalam masyarakat manusia primitif, unit sosial terbesar merupakan puak (tribe) yang bahkan tidak mencapai 100 jiwa. Interaksi antarpuak belum terbentuk sehingga perang tidak mungkin terjadi. Oleh sebab itu, laki-laki biasanya tidak memiliki dorongan untuk melindungi sumber daya reproduksi mereka dari laki-laki out-group
Tentu saja, perang antaranggota puak dapat saja terjadi. Namun, jika suatu puak bahkan tidak mencapai 100 jiwa, konflik antara laki-laki tersebut menjadi hal merugikan yang pasti dihindari.Â
Bayangkan, jika dua orang laki-laki saling berkonflik untuk melindungi sumber daya reproduksi mereka, pihak yang kalah tetap harus menetap di dalam puak yang penuh dengan "musuh". Hal ini disebabkan karena di dalam masyarakat primitif, suatu puak tidak mengenal puak lain atau kelompok out-groupnya.Â
Untuk menghindari situasi yang tegang dan canggung, manusia akan selalu menghindari konflik dan perang dengan sesamanya. Oleh sebab itu, manusia (laki-laki) memiliki kodrat untuk menghindari konflik dan perang dengan sesamanya.
Jika manusia memiliki kodrat untuk menghindari konflik dan perang dengan sesamanya, perang justru bukanlah kodrat dari manusia. Pada hakikatnya, konflik dan perang hanya berkembang ketika kompleksitas sosial juga ikut berkembang (seperti konsep out-group dan in-group).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI