Jika Homo sapiens berpikir bahwa mereka spesial dan berhak untuk mendominasi lingkungannya, terjadilah kerusakan lingkungan. Pada dasarnya, Homo sapiens tidak bisa mengendalikan dirinya dan akan melakukan segala cara untuk mendapatkan apa yang dikehendakinya, termasuk sumber daya alam. Sikap ini tentu akan mengarah pada kerusakan lingkungan.
Pendukung dari antroposentrisme mungkin akan mengatakan bahwa tugas dari Homo sapiens adalah untuk “menjaga dan melindungi lingkungannya”. Oleh sebab itu, antroposentrisme sendiri tidak akan mengarah pada kerusakan lingkungan. Sebaliknya, paham antroposentrisme akan mengarah pada keharmonisan ekosistem.
Akan tetapi, kita harus menyadari bahwa fakta bukanlah demikian. Banyak perusahaan dan negara di dunia ini mengorbankan ekosistemnya demi keuntungan, kemajuan ekonomi, dan kesejahteraan masyarakatnya. Apakah kita benar-benar harus mengorbankan lingkungan kita untuk semuanya itu?
Jika Homo sapiens benar-benar tidak spesial, kita juga harus memikirkan implikasinya terhadap hak asasi manusia dan hak asasi hewan. Jika Homo sapiens itu sama “spesialnya” dengan spesies-spesies lain, bukankah hak asasi hewan juga harus ditegakkan sama halnya dengan hak asasi manusia? Namun, tentu kenyataan bukanlah demikian.
Hak asasi hewan menjadi isu yang kompleks dan menjadinya persoalannya yang sendiri. Namun, jika kita menganggap bahwa Homo sapiens dan hewan sama “spesialnya”, Homo sapiens kini sedang menerapkan rezim apartheid terhadap hewan-hewan nonmanusia. Mendukung antroposentrisme atau tidak, harus ada solusi untuk menyelesaikan masalah-masalah yang disebabkan antroposentrisme tadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H