Mohon tunggu...
Nobuhiro Komatsuda
Nobuhiro Komatsuda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kolese Kanisius

Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menguasai atau Menjaga? Dilema Superioritas Manusia dan Pelestarian Lingkungan

8 November 2024   16:13 Diperbarui: 8 November 2024   16:19 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
TimVickers/Wikimedia Commons 

Antroposentrisme adalah paham bahwa manusia (Homo sapiens) adalah spesies paling pusat dan lebih penting dari spesies lain. Dengan kata lain, Homo sapiens adalah makhluk yang spesial. Sejak zaman dahulu kala, berbagai tradisi, agama, dan cabang filsafat telah berusaha untuk memaknai keberadaan Homo sapiens dengan kacamata antroposentrisme.  

Immanuel Kant, seorang filsuf dari Abad Pencerahan, berpikir bahwa Homo sapiens adalah satu-satunya makhluk yang memiliki tujuan dalam dirinya sendiri (ends in itself). Ends in itself sendiri berarti Homo sapiens tidak bisa digunakan sebagai sarana untuk benda lain. Oleh sebab itu, Homo sapiens boleh mendominasi spesies lain untuk mencapai tujuan dalam dirinya sendiri—paham inilah yang dipegang oleh banyak pendukung paham antroposentrisme. Pemikiran Kant adalah salah satu dari banyak pemikiran tentang antroposentrisme. Paham antroposentrisme semacam ini dapat kita temukan di dalam karya filsuf Aristoteles dan teologi agama Yahudi serta Kristen.

Akan tetapi, dari sisi sejarah evolusi makhluk hidup, kita mengetahui bahwa dominasi suatu spesies (termasuk Homo sapiens) bersifat fluktuatif dan tidak dapat selalu dipertahankan. Sebelum Revolusi Kognitif, Homo sapiens tidak mendominasi muka bumi ini dan sempat hidup berdampingan dengan spesies manusia lainnya, seperti Homo neanderthalensis. 

Dari kacamata antroposentrisme, Homo sapiens dikatakan “spesial” karena berbagai alasan, misalnya kemampuan berpikir secara rasional, menguasai bahasa, dan memiliki agensi moral. Namun, Homo neanderthalensis juga dapat berpikir secara rasional, menguasai bahasa dan memiliki agensi moral. Dengan demikian, paham antroposentrisme di zaman itu tentu tidak relevan dengan hadirnya Homo neanderthalensis. Homo sapiens sesungguhnya bukan spesies yang paling pusat dan lebih penting dari spesies lain. 

Lalu, bagaimana dengan kondisi sekarang? Karena Homo neanderthalensis dan spesies manusia lain kini sudah punah, bukankah Homo sapiens kini spesies yang mendominasi muka bumi ini? Kita bisa mengilustrasikan populasi Homo sapiens dengan populasi bakteri untuk menjawab pertanyaan ini. Pada tahun 2024, penduduk dunia menembus sekitar 8 miliar jiwa. Di sisi lain, ada 10.000 sampai dengan 100.000 miliar spesies bakteri individu yang hidup di usus kita saja. Jika kita mengamati populasi Homo sapiens dan bakteri, jumlah bakteri individu sudah melebihi populasi manusia sebanyak bermiliar kali lipat. Bukankah Homo sapiens kini sudah didominasi dalam jumlah oleh bakteri?

Mungkin saja perbandingan populasi Homo sapiens dan bakteri individu tidak bisa menjadi satu-satunya indikator yang membantah dominasi Homo sapiens di muka bumi. Namun, jika kita mengingat kembali berbagai peristiwa bersejarah, kita diingatkan bagaimana Homo sapiens “tunduk” kepada bakteri. Contohnya, pada abad ke-14, pandemi Wabah Hitam yang disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis telah menewaskan sepertiga hingga dua pertiga dari populasi Eropa. Pandemi Wabah Hitam menunjukkan dominasi bakteri Yersinia pestis terhadap Homo sapiens. 

Pandemi Wabah Hitam bukanlah satu-satunya peristiwa yang menunjukkan dominasi bakteri terhadap Homo sapiens. Dalam 200 tahun terakhir, bakteri Vibrio cholerae telah menyebabkan sebanyak 7 pandemi kolera. Dengan teknologi dan ilmu kedokteran yang sudah berkembang saja, sekitar 21.000 sampai dengan 143.000 orang meninggal karena kolera.

Selain bakteri, Homo sapiens juga masih tunduk terhadap virus, agen infeksi yang bahkan bukan merupakan makhluk hidup. Beberapa tahun yang lalu, manusia dihadapkan pandemi Covid-19. Pandemi Covid-19 disebabkan oleh SARS-CoV-2, salah satu jenis koronavirus. Sejauh ini, sekitar 7 juta jiwa meninggal dari Covid-19.

Proses evolusi Homo sapiens menunjukkan kenyataan yang pahit: kita tidak spesial dan kita tidak mendominasi muka bumi ini. Jika kita menggunakan “sifat kodrati” kita untuk membenarkan paham antroposentrisme, kita mengetahui bahwa kita tidak jauh berbeda dengan Homo neanderthalensis. Dari segi jumlah, kita masih kalah dengan spesies bakteri individu. Bahkan, nyawa kita seringkali direbut oleh mereka. Homo sapiens tidaklah spesial.

Selama berabad-abad, kita hidup dengan pemahaman bahwa kita adalah spesies yang spesial. Andai kata paham ini tidak benar, apakah kita tidak bisa berpura-pura saja dan menganggap kita adalah spesies yang spesial? Hal itu bisa saja kita lakukan, tetapi implikasinya bisa sangat luas. 

Di masa modern, dunia dihadapkan dengan berbagai masalah. Beberapa dari masalah yang dihadapi dunia disebabkan oleh antroposentrisme itu sendiri. Dua masalah utama yang disebabkan oleh paham antroposentrisme adalah kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi hewan.

Jika Homo sapiens berpikir bahwa mereka spesial dan berhak untuk mendominasi lingkungannya, terjadilah kerusakan lingkungan. Pada dasarnya, Homo sapiens tidak bisa mengendalikan dirinya dan akan melakukan segala cara untuk mendapatkan apa yang dikehendakinya, termasuk sumber daya alam. Sikap ini tentu akan mengarah pada kerusakan lingkungan.

Pendukung dari antroposentrisme mungkin akan mengatakan bahwa tugas dari Homo sapiens adalah untuk “menjaga dan melindungi lingkungannya”. Oleh sebab itu, antroposentrisme sendiri tidak akan mengarah pada kerusakan lingkungan. Sebaliknya, paham antroposentrisme akan mengarah pada keharmonisan ekosistem. 

Akan tetapi, kita harus menyadari bahwa fakta bukanlah demikian. Banyak perusahaan dan negara di dunia ini mengorbankan ekosistemnya demi keuntungan, kemajuan ekonomi, dan kesejahteraan masyarakatnya. Apakah kita benar-benar harus mengorbankan lingkungan kita untuk semuanya itu?

Jika Homo sapiens benar-benar tidak spesial, kita juga harus memikirkan implikasinya terhadap hak asasi manusia dan hak asasi hewan. Jika Homo sapiens itu sama “spesialnya” dengan spesies-spesies lain, bukankah hak asasi hewan juga harus ditegakkan sama halnya dengan hak asasi manusia? Namun, tentu kenyataan bukanlah demikian.

Hak asasi hewan menjadi isu yang kompleks dan menjadinya persoalannya yang sendiri. Namun, jika kita menganggap bahwa Homo sapiens dan hewan sama “spesialnya”, Homo sapiens kini sedang menerapkan rezim apartheid terhadap hewan-hewan nonmanusia. Mendukung antroposentrisme atau tidak, harus ada solusi untuk menyelesaikan masalah-masalah yang disebabkan antroposentrisme tadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun