Di dalam Riwayat Imam Thabrani, disebutkan adanya kekhawatiran Rasullullah SAW mengenai kecenderungan mereka yang berilmu tetapi tidak mempunyai akhlak terpuji
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ بَعْدِيْ كُلُّ مُنَافِقٍ عَلِيمُ اللِّسَانِ
Yang bermakna "Sungguh yang paling aku khawatirkan atas kalian semua sepeninggalku adalah orang munafik yang pintar berbicara."[4] Sangat merisaukan hati Rasul karena adanya mereka yang berilmu tetapi menghiraukan sifat kemunafikan dalam diri sendiri.
Berdasarkan keterangan KH Zakyy Mubarak Rais Syuriah PBNU 2015-2021, Beliau menuturkan perintah untuk melawan kemunafikan berdasarkan kemampuan (kuasa, lisan, maupun hati).[5] Hal ini bisa menjadi titik tumpu perubahan gerak, karena sangat disayangkan apabila dasar pemikiran dan hukum yang dibawa para Mufassir, Mufaqih dan Mualim tidak dihiraukan umat.
Hal ini memang lebih mengarah Fiqih Sosial yang mencondongkan kepada kemaslahatan umat, bahkan kemunafikan sendiri kadang berimbas kepada rusaknya Aqidah kepada Tuhan dan Tassawuf yang bersifat Antroposentris, sekalipun belum condong atau mengarah kepada Fiqih Jinayah, tetapi tidak jarang dibahas mengenai akibat lanjutan dari sifat munafik ini.
Fiqih Jinayah
Sebelum meranah lebih jauh mengenai sikap kemunafikan dalam diri umat, kita perlu tahu memang jarang kontosasi yang menyebut munafik tetapi akan berbeda jika kita menggunakan sinonim dan ini selaras dengan pendapat Imam Qurthubi diatas.
Jika menarik dari hubungan sematik sinonim, di dalam dasar agama yang telah disepakati 4 (empat) madzhab, maka dapat kita ketahui sinonim kata munafik ada beberapa seperti fitnah, ingkar, dan hasad, serta hinaan maupun ejekan tanpa bukti. Berdasarkan pendapat lain Imam Qurthubi per buatan Ghibah adalah dosa besar yang juga ancaman di dalamnya berat[6], karena menghancurkan kemaslahatan umat, pengabdian sesorang, bahkan tidak jarang aqidah atau kepercayaan sesorang terhadap Tuhan.
Kembali kepada ranah jinayah, dalam jinayah mengenai perkara munafik dalam wujud dusta, ingkar, dan khianat sebagaimana disebut diatas lebih kearah fiqih sosial, akan tetapi Islam tetap melindungi hak, martabat, dan harga diri manusia sekalipun non-Islam juga wajib dijaga dengan ketentuan politik lainnya.
Dalam fiqih jinayah pidana terhadap sikap munafik hanya bisa dilihat dari akibatnya, jika akibat sikap munafik ini adanya pembunuhan maka yang membunuh dapat dipidana mati sedangkan yang menghasut dalam kebohongan akan dipidana dengan hal sama menurut Imam Hanafi jika adanya paksaan dan dipidana ringan jika tidak ada paksaan serta pendapat lainnya pada madzhab maliki hal ini dapat dikategorikan pembunuhan langsung jadi berakibat pada qisas.
Hal selain pembunuhan bisa dianalogikan sama, seperti murtadnya seseorang akibat orang lain. Dan kebanyakan pengharaman murtad juga menyangkut harga diri dari kalimat-kalimat penghinaan dan celaan maka sangat selaras jika ucapan-ucapan berbahaya merusakkan hati seseorang maka akan selaras dengan pendapat hukum menurut kedua Imam Madzhab diatas serta kalimat-kalimat sebelumnya. Karena menyangkut berbahayanya ucapan yang berimbas kepada qisas matinya seseorang, dan termasuk perbuatan yang tidak baik lainnya. Dan konteks penghormatan kemanusiaan juga berlaku kepada fiqih jinayah yang lainnya.