Kenyataannya, Depok saat itu berstatus sebagai Gemeente di bawah pemerintahan Hindia Belanda yang tingkatannya setara dengan sebuah desa. Nah, istilah presiden yang dipakai di Depok sebenarnya bukan merujuk kepala negara, melainkan mirip seperti kepala desa. Setelah mendengar penjelasan ini, menurut saya masuk akal juga karena sebenarnya presiden itu memiliki makna yang luas. Jangankan di lingkup wilayah administratif, istilah presiden juga dapat digunakan di tingkat organisasi atau perusahaan. Makanya ada istilah presiden direktur (presdir). Kendati namanya presiden, tidak berarti orang tersebut adalah kepala negara.
Informasi yang tidak benar lainnya adalah soal asal-usul nama Depok. Misalnya, katanya, Depok itu berasal dari kata 'Padepokan'. Ada pula yang mengatakan bahwa Depok berasal dari akronim De Eerse Protestantse Organisatie van Kristenen yang jika disingkat disebut DEPOK.
Pak Boy pun menjelaskan alasan kenapa asal-usul itu tidak valid. "Ketika Chastelein membeli tanah Depok tahun 1695, namanya sudah 'Het land Depok' (tanah Depok)." Jadi Depok tidak berasal dari singkatan atau akronim apapun karena memang dari dulu namanya sudah Depok. Â
Napak tilas kota Depok tak lengkap rasanya jika tidak berkeliling ke tempat-tempat bersejarah yang ada di sana. Setelah bercerita di Cornelis Koffie, Pak Boy kemudian mengajak kami untuk berkunjung ke Tugu Cornelis Chastelein. Tugu ini terletak di area RS Harapan Depok yang sudah terbengkalai sejak 2020, lokasinya tak jauh dari Kornelis Koffie.
Tugu Cornelis Chastelein dibangun pada 1914. Tidak sebatas untuk memperingati 200 tahun wafatnya Cornelis Chastelein, tugu ini juga didirikan sebagai peringatan dari 200 tahun orang Depok dibebaskan dari perbudakan. Cornelis sendiri adalah orang Belanda keturunan Prancis yang menjadi tuan tanah di Depok. Berbeda dengan orang-orang VOC pada umumnya, penganut Protestan yang taat ini justru menjadi tuan tanah yang baik hati karena memerdekakan seluruh budaknya yang saat itu bukan hal yang lazim untuk dilakukan.
Pada tahun 1962, Presiden Soekarno sempat mengumandangkan spirit melawan Belanda dalam melakukan pembebasan Irian Barat. Berawal dari kobaran Soekarno, Pak Boey yang saat itu masuk duduk di kelas 1 SMP bercerita bahwa ia menjadi saksi hidup dari oknum-oknum tak bertanggung jawab dalam menghancurkan Tugu Cornelis Chastelein pada tahun 1963.
Pada tahun 2014, Pak Boy dan komunitas Kaoem Depok membangun kembali Tugu Chastelein karena ia dianggap berharga karena berperan dalam cikal bakal kota Depok seperti sekarang. Sayangnya, saat itu pemerintah kota Depok tidak mengizinkan.
"Kok buat penjajah mau dibangun monumen? (kata Pak Boy meniru ucapan pemerintah Depok). Itu karena pemerintah kota Depok yang melarang ini bukan orang sini. Jadi mereka tidak mengerti asal-usulnya."
Pak Boy meluruskan bahwa Chastelein bukanlah penjajah. Selain itu terdapat amanat Chastelein yang ada di Tugu Chastelein yang ia tulis di wasiatnya dalam bahasa Belanda, namun berusaha ditutup-tutupi oleh pemkot Depok.
Tugu Chastelein sebenarnya berpotensi menjadi cagar budaya yang dapat menjadi potensi pariwisata kota Depok. Namun dengan sikap yang tidak peduli, ia pun menyayangkan pemerintah Depok karena terkesan menghilangkan sejarah Chastelein dari Depok.