Selama naik kereta, biasanya kita hanya ngetap kartu elektronik di gate saja untuk masuk ke dalam stasiun, menunggu kereta di peron, masuk gerbong lalu turun ketika sampai di tujuan. Namun pernah terpikirkan enggak sih bahwa di balik perjalanan kereta kita yang lancar dan tanpa hambatan, sebenarnya ada proses perawatan panjang dan berkala yang jarang diketahui?
Itulah yang terungkap di Depo KRL (Kereta Rel Listrik) Depok yang telah diresmikan sejak 2008. Bersama Click Kompasiana (komunitas KRL kompasiana) berkolaborasi dengan Kreatoria, sebuah digital creative agency yang aktif merangkul para bloger dalam aktivasi digital, saya mengikuti "Walking Tour Depo KRL dan Heritage Depok" pada Senin, 28 Oktober 2024. Menariknya, kunjungan ini terasa istimewa karena dilakukan bertepatan dengan Hari Bloger Nasional yang jatuh pada 27 Oktober setiap tahunnya.
Kegiatan kunjungan ke Depo dimulai dengan berkumpul di Stasiun Depok pada pukul 09.00-09.30 WIB. Setelah semua peserta yang berjumlah sekitar 20 orang berkumpul, kami lalu berjalan kaki selama beberapa ratus meter kemudian melanjutkan perjalanan dengan naik angkot menuju lokasi.
Tak lama kemudian kami sampai di tujuan. Berdiri di atas lahan seluas 26 hektar dengan memiliki 14 jalur rel stabling (parkir) untuk 244 unit KRL, oh ternyata ini Depo KRL terbesar se-Asia Tenggara! Sebagai warga Depok, saya yakin bahwa ayah Ojak, ayahnya Ayu Ting Ting pasti bakal bangga!
Melihat Langsung Proses Perawatan KRL di Depo Depok
Acara 'Walking Tour Depo KRL Depok' dibuka oleh Kepala Depo KRL Depok, Asep Permana. Setelah menyampaikan sambutan dan menjelaskan sekilas tentang Depo KRL Depok, ia lalu mengajak dan memandu para peserta untuk berkeliling. Cuaca Depok saat itu sedang panas-panasnya. Tapi rasa excited yang begitu besar membuat kegiatan ini jadi terbayarkan.
Pak Asep membawa kami ke 3 area perawatan berbeda di Depo Depok. Namun sebelumnya, kami diharuskan memakai helm dan jaket terlebih dahulu. Untuk berpindah dari satu area ke area lain, kami melakukannya dengan berjalan kaki.
Area pertama yang kami kunjungi adalah perawatan KRL bulanan. Di sini Pak Asep menjelaskan bahwa gerbong-gerbong KRL di Jabodetabek akan dirawat secara berkala setiap bulannya, mulai dari gerbong, mesin, rem hingga suspensi. Sebagai bagian dari keamanan, kami pun dilarang melintasi garis berwarna kuning yang dipasang di pinggir rel.
Semula, saya mengira bahwa perawatan KRL itu sebatas merawat gerbongnya saja. Namun berdasarkan penjelasan dari Pak Asep, Depo Depok juga bertanggung jawab terhadap air limbah yang dihasilkan dari proses perawatan KRL. "Di tengah ada saluran airnyaSemua limbah cair dari yang dihasilkan dari proses perawatan masuk ke situ, tenga situ. Nanti ini terkoneksi dengan instalasi pengolahan air limbah."
Beranjak dari area perawatan bulanan, kami lalu diajak berkunjung ke area Overhaul. Nah, di sini gerbong-gerbong KRL akan dicek setiap 2 atau 4 tahun sekali secara berkala. Jika di area perawatan bulanan gerbong keretanya tidak dilakukan pembongkaran, di overhaul, komponen keretanya justru akan dibongkar pasang untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Terakhir, kami diajak memasuki area pencucian kereta. Di sini kami melihat secara langsung proses pencucian langsung gerbong-gerbong KRL oleh para petugas agar senantiasa bersih dan nyaman saat digunakan. KRL lalu dibilas dan dikeringkan sebelum akhirnya dapat digunakan kembali untuk masyarakat.
Napak Tilas Sejarah Kota Depok: Pernah Jadi Negara Sebelum Indonesia Merdeka?
Puas berkunjung ke Depo KRL Depok, kami lalu berkunjung ke Cornelis Koffie yang terletak di Jl. Pemuda No. 16, Pancoran Mas, Depok untuk ngopi-ngopi lucu. Sekilas sih seperti kafe pada umumnya saja. Namun dengan bangunan gaya kolonial VOC, Cornelis Koffie memiliki keunikannya tersendiri karena dulunya, bangunan ini adalah rumah pribadi di zaman Belanda. Sempat menjadi sebuah restoran bernama Khasanti, bangunan ini kini beralih fungsi menjadi kopisyop sejak 2020.
Cornelis Koffie menawarkan beragam menu pilihan, baik makanan dan minuman yang menggugah selera. Di saat mayoritas peserta walking tour memesan jus buah, saya memesan Biskofie. Mumpung dibayarin, jadi pilih menu minuman yang paling mahal dan sulit ditemukan di tempat lain. hehe Biskofie adalah sajian minuman kopi yang bercampur dengan susu dan biskuit beraroma karamel lotus biscoff. Di tengah-tengah teriknya cuaca Depok, minum minuman ini jadi pelepas dahaga yang paripurna.
Semula, saya berpikir bahwa kami hanya ngopi-ngopi lucu saja lalu dilanjutkan dengan napak tilas secara mandiri sesuai jadwal acara. Namun ternyata Click Kompasiana dan Kreatoria memberikan kejutan yang tidak kami sangka-sangka. Untuk memberikan informasi sejarah yang akurat seputar kota Depok, ternyata mereka turut menghadirkan Kepala Bidang Sejarah Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein dan sejarawan Boy Loen. Wah, ini kesempatan yang berharga banget karena Pak Boy sendiri adalah akamsi yang merupakan tokoh keturunan Belanda Depok atau Kaoem Depok.
Sambil cemilin kentang goreng, tahu dan singkong serta menyeruput minuman masing-masing di Cornelis Koffie, kami mendengarkan penjelasan sejarah tentang Depok dari Pak Boy. Ia pun meluruskan tentang berbagai informasi yang salah tentang Depok yang telah tersebar di sosial media. Salah satu yang bikin kami shick shack shock adalah ternyata berita yang mengabarkan bahwa Depok sudah menjadi negara sebelum Indonesia itu hoax alias bohong!
Di sosial media, Depok sering dikabarkan sudah menjadi negara sebelum Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 karena telah memiliki presiden sendiri. Saya pun pernah beranggapan bahwa informasi ini valid. Tapi ternyata itu hoax alias tidak benar.
Kenyataannya, Depok saat itu berstatus sebagai Gemeente di bawah pemerintahan Hindia Belanda yang tingkatannya setara dengan sebuah desa. Nah, istilah presiden yang dipakai di Depok sebenarnya bukan merujuk kepala negara, melainkan mirip seperti kepala desa. Setelah mendengar penjelasan ini, menurut saya masuk akal juga karena sebenarnya presiden itu memiliki makna yang luas. Jangankan di lingkup wilayah administratif, istilah presiden juga dapat digunakan di tingkat organisasi atau perusahaan. Makanya ada istilah presiden direktur (presdir). Kendati namanya presiden, tidak berarti orang tersebut adalah kepala negara.
Informasi yang tidak benar lainnya adalah soal asal-usul nama Depok. Misalnya, katanya, Depok itu berasal dari kata 'Padepokan'. Ada pula yang mengatakan bahwa Depok berasal dari akronim De Eerse Protestantse Organisatie van Kristenen yang jika disingkat disebut DEPOK.
Pak Boy pun menjelaskan alasan kenapa asal-usul itu tidak valid. "Ketika Chastelein membeli tanah Depok tahun 1695, namanya sudah 'Het land Depok' (tanah Depok)." Jadi Depok tidak berasal dari singkatan atau akronim apapun karena memang dari dulu namanya sudah Depok. Â
Napak tilas kota Depok tak lengkap rasanya jika tidak berkeliling ke tempat-tempat bersejarah yang ada di sana. Setelah bercerita di Cornelis Koffie, Pak Boy kemudian mengajak kami untuk berkunjung ke Tugu Cornelis Chastelein. Tugu ini terletak di area RS Harapan Depok yang sudah terbengkalai sejak 2020, lokasinya tak jauh dari Kornelis Koffie.
Tugu Cornelis Chastelein dibangun pada 1914. Tidak sebatas untuk memperingati 200 tahun wafatnya Cornelis Chastelein, tugu ini juga didirikan sebagai peringatan dari 200 tahun orang Depok dibebaskan dari perbudakan. Cornelis sendiri adalah orang Belanda keturunan Prancis yang menjadi tuan tanah di Depok. Berbeda dengan orang-orang VOC pada umumnya, penganut Protestan yang taat ini justru menjadi tuan tanah yang baik hati karena memerdekakan seluruh budaknya yang saat itu bukan hal yang lazim untuk dilakukan.
Pada tahun 1962, Presiden Soekarno sempat mengumandangkan spirit melawan Belanda dalam melakukan pembebasan Irian Barat. Berawal dari kobaran Soekarno, Pak Boey yang saat itu masuk duduk di kelas 1 SMP bercerita bahwa ia menjadi saksi hidup dari oknum-oknum tak bertanggung jawab dalam menghancurkan Tugu Cornelis Chastelein pada tahun 1963.
Pada tahun 2014, Pak Boy dan komunitas Kaoem Depok membangun kembali Tugu Chastelein karena ia dianggap berharga karena berperan dalam cikal bakal kota Depok seperti sekarang. Sayangnya, saat itu pemerintah kota Depok tidak mengizinkan.
"Kok buat penjajah mau dibangun monumen? (kata Pak Boy meniru ucapan pemerintah Depok). Itu karena pemerintah kota Depok yang melarang ini bukan orang sini. Jadi mereka tidak mengerti asal-usulnya."
Pak Boy meluruskan bahwa Chastelein bukanlah penjajah. Selain itu terdapat amanat Chastelein yang ada di Tugu Chastelein yang ia tulis di wasiatnya dalam bahasa Belanda, namun berusaha ditutup-tutupi oleh pemkot Depok.
Tugu Chastelein sebenarnya berpotensi menjadi cagar budaya yang dapat menjadi potensi pariwisata kota Depok. Namun dengan sikap yang tidak peduli, ia pun menyayangkan pemerintah Depok karena terkesan menghilangkan sejarah Chastelein dari Depok.
Harapan tentang Click dan Kreatoria ke Depannya
Setelah berkunjung ke Tugu Chastelein, napak tilas kemudian dilanjutkan dengan berkunjung ke tempat historis lainnya di Depok. Saya sebenarnya  ingin ikut. Namun lantaran saya punya agenda lain, maka saya tidak bisa mengikuti kunjungan walking tour sampai selesai.
Sebagai salah satu peserta walking tour, kesan-kesan saya tentang acara ini seru sekali. Acaranya sangat insightful dan benar-benar memberikan saya pengalaman baru. Saya berharap ke depannya Click Kompasiana dan Kreatoria terus mengadakan acara sejenis ini karena turut berperan dalam merawat sejarah sekaligus memberikan banyak insight. Mungkin next bisa walking tour di Depo KRL Jepang atau Turki? (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI