Dalam beberapa tahun terakhir, tren masyarakat dalam menyaksikan film dan serial mengalami perubahan. Jika dahulu kita hanya bisa mengandalkan saluran televisi dan bioskop untuk menyaksikan film atau serial yang sedang tayang, kini tak lagi karena akses untuk menonton sudah lebih luas. Sejak munculnya berbagai platform streaming film, kita jadi lebih leluasa dalam menikmati film dan serial dimana pun dan kapan pun tanpa harus terpaku dengan jadwal tertentu.
Salah satunya platform streaming yang eksis sekarang adalah Genflix yang kini menjadi langganan saya. Selain karena biaya berlangganannya yang terjangkau (bahkan kita bisa berlangganan hanya dengan mengeluarkan Rp5.000/hari atau Rp10.000/3 hari), adanya misi dalam mendukung perfilman nasional juga menjadi alasan kenapa saya tertarik untuk menjadi penonton di Genflix.
Hal itu dibuktikkan oleh Genflix lewat konten-konten original yang diproduksinya. Di sini kita bisa melihat berbagai film dan serial Indonesia menarik yang ekslusif dibuat hanya untuk penonton Genflix. Beberapa judul di antaranya adalah "Young Marriage", "Friendshit", "Terompet Tahun Baru", "Asya Story", "Podkaestsang" hingga yang terbaru "Komisi Pemberantas Ketakutan".
Bagi penggemar serial, pasti tahu bahwa biasanya setiap episode berdurasi 30 hingga 60 menit. Namun serial-serial di Genflix ini unik. Jumlah episode yang ditawarkan masih bisa dihitung dengan jari (rata-rata kurang dari 10) dan durasi per episode terbilang sedikit. Enggak semuanya sih. Tapi dari apa yang saya perhatikan, rata-rata sih seperti itu.
Dari beragam konten original yang dimiliki oleh Genflix, "Asya Story" adalah salah satu yang telah saya tonton. Saya tertarik untuk menyaksikannya karena Asya Story mengangkat isu pelecehan seksual yang belum semua remaja memahaminya.Â
"Asya Story" hanya memiliki total 6 episode. Durasi masing-masing episodenya pun terbilang ringkas, hanya berkisar 10 menit. Jadi gak butuh waktu berhari-hari untuk menamatkan serial di Genflix. Hanya butuh waktu sekitar 1 jam, kita pun sudah menyelesaikannya dan bahkan maraton ke serial Genflix lainnya.
Serial ini diangkat dari novel Wattpad karya Sabrina Febrianti yang telah dibaca sebanyak 27 juta kali. Dari temanya sih menarik. Tapi kenyataannya, apakah ceritanya semenarik itu?
Ulasan "Asya Story"
Sesuai judulnya, "Asya Story" bercerita tentang kehidupan seorang gadis bernama Asya. Dikisahkan Asya adalah remaja yang biasa seperti remaja pada umumnya, namun semuanya berubah saat seseorang laki-laki bernama Alex menodainya sampai hamil di sebuah studio musik di sekolahnya.Â
Sejak itu, hidup Asya berubah. Ia depresi dan jadi lebih murung dibandingkan biasanya. Ibu Asya yang mengetahui bahwa Asya telah dilecehkan, datang ke sekolah. Ia bersama suaminya menuntut pihak sekolah untuk mencari tahu siapa pelaku pelecehan.
Untuk mencari jawabannya, pihak sekolah kemudian menghadirkan empat orang siswa, termasuk Alex yang diduga sebagai pelaku pelecehan seksual. Asya kemudian diminta untuk menunjuk siapa salah satu di antara mereka yang telah tega merenggut kesucian dirinya.Â
Asya menunjuk seseorang. Namun tak disangka, orang tersebut bukanlah Alex, melainkan Fano, cowok berkacamata yang tak lain adalah sahabatnya Alex. Di saat Alex tak bertanggung jawab atas perbuatannya, Fano pun datang sebagai malaikat penyelamat. Ujung-ujungnya, kalian pasti sudah bisa menebaknya sendiri bagaimana endingnya.
Ngomongin soal isu saya sih oke-oke saja jika "Asya Story" mengangkat isu pelecehan seksual. Namun sejak awal hingga akhir menonton, entah kenapa saya merasat tidak terkesan sama sekali dengan serialnya. Ceritanya biasa-biasa saja dan menurut saya tidak ada yang istimewa sama sekali.Â
Menurut saya ada dua kunci sebuah karya cerita bisa dikatakan bagus. Pertama, sebuah cerita bisa dikatakan bagus jika memuat tema yang out of the box atau jarang sekali dibahas. Kedua, sebuah karya juga bisa dikatakan bagus jika mengangkat tema yang sudah umum atau banyak dibahas tapi mengemasnya dengan cara atau sudut pandang berbeda. Intinya, saat kita menikmatinya, ada suatu pembedanya sehingga ceritanya akan tampak istimewa. Sayangnya, "Asya Story" tidak mencakup salah satu dari dua kriteria cerita bagus ini. "Asya Story" tidak ada istimewa-istimewanya sama sekali.
Benar, saya belum membaca "Asya Story" versi novelnya. Tapi dengan menyaksikannya dalam bentuk visualisasi film sudah membuat saya mengernyitkan dahi. Lupakan sejenak soal kualitas akting atau kualitas sinematografinya! Yang jelas, tokoh-tokoh utamanya ngeselin karena alur cerita ditampilkan banyak yang enggak masuk akal dengan realita di kehidupan nyata!
Saking banyaknya adegan yang enggak logis, ada banyak uneg-uneg yang mengganjal di benak saya terkait cerita di serial ini. Misalnya, kenapa Asya nunjuk Fano sebagai pelakunya padahal Alex yang menodainya? Tadinya sih saya kasihan sama Asya. Tapi gara-gara tindakan ini, bukannya Asya seperti orang jahat ya karena telah memfitnah dan mengorbankan orang lain yang tidak bersalah?
Selain itu, kok Fano rela dituduh sebagai pelaku pemerkosa? Kan bukan dia pelakunya. Saat Asya menunjuk dirinya, Fano sama sekali enggak mengelak atau melakukan pembelaan dong padahal banyak siswa yang menyaksikannya lewat jendela. Emang Fano enggak punya malu apa?Â
Kalau saya jadi Fano sih saya bakal membantah karena itu merusak nama baik diri sendiri dan nama baik keluarga. Buat apa kita mengakui tindakan kejahatan yang sebenarnya tidak kita lakukan? Apalagi, terkait pelecehan seksual. Â
Saat kejadian pemerkosaan, Fano sebenarnya mengetahui bahwa Alex sedang melakukan pelecehan seksual kepada Asya di studio musik. Kalau Fano gentle dan ia adalah sahabatnya Alex, kenapa ia tidak langsung melabrak tindakan Alex? Yang terjadi adalah ia malah cuman ngintipin doang dari pintu. Lupakan soal urusan persahabatan antara ia dengan Alex, tapi masa Fano diem aja sih saat melihat ada adegan perkosaan di depan matanya sendiri?
Itu hanyalah beberapa kejanggalan cerita yang saya temukan saat menyaksikan "Asya Story". Selebihnya, tentu ada lagi namun tidak bisa saya ceritakan semua karena khawatir dapat mengubah mood pembaca tulisan ini.Â
Saya memang belum menonton semua serial original Genflix. Tapi yang jelas, "Asya Story" bikin saya geleng-geleng kepala. Banyaknya adegan yang tidak logis membuat saya tidak puas dengan ceritanya.Â
Padahal dengan target penonton remaja, "Asya Story" sebenarnya bisa jadi media edukasi yang positif untuk menyampaikan pesan agar remaja semakin melek dengan isu pelecehan seksual. Tapi ceritanya yang dangkal dan sebenarnya mudah ditebak, membuat serial ini gagal memenuhi fungsinya sebagai media edukasi.
Untungnya, tiap kali episode berakhir ada musik yang enak didengar. Seenggaknya itu jadi kelebihan tersendiri yang dimiliki oleh serial ini di antara berbagai kekurangan yang ada.
Sebagai penggemar film Indonesia, saya senantiasa menanti karya-karya film atau serial Indonesia yang bagus dan segar. Enggak usah cerita yang berat kok. Cerita yang sederhana enggak apa-apa, asalkan kuat dan berkesan.
Nah, kalau ke depannya Genflix ingin membuat konten original khusus remaja lagi, saya berharap Genflix bisa belajar dari serial Thailand "Hormones". Meski hanya seputar kehidupan remaja, "Hormones" benar-benar jadi role model yang membuat ceritanya membekas dan relate dengan realita remaja sehari-hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H