Bias rupa terpantul dalam cermin kaca
Bentuk nyata tak dusta, dialah yang bernyawa
Namun dikala sorot nanar menyapa ia
Luka-luka ringkih, tiada daya menggerogoti jasadnya
Tak berbilang, sakit tersekat ditenggorokan bagai neraka dunia
Seonggok tubuh manusia tiada daya
Namun terkekang renjana berhaluan pada mereka
Yang sudah tak nyata, dengan berani meninggalkan ia
Boleh jadi ini adalah karma, atau penebusan dosa-dosa?
Pada kenyataannya ia terkurung dalam lingkar derita
Kenangan menjerat ia, membuatnya jejal lalu berputus asa
Lara kian meliputi, bayangnya tersiksa fatamorgana
Menyapa bayangnya sendiri dalam cermin kaca, senyum sayu coba samarkan sakitnya
Dunia berputar begitu cepat, sakit ditinggalkan menghampiri tanpa jeda
Ingin rasanya memanjat gunung, mengoyak langit, mematahkan semesta
Agar ia dapat menyatakan kekecewaannya pada yang di atas sana
Lantas bagaimana jika ia putuskan menggulung pahit hatinya
Hancurkan cermin kaca tuk lenyapkan bayang derita
Secara visual memang benar ia lenyap dari pandangnya
Luput dari perkiraan, rasa sakit kan terus menghantui selamanya
Meski ia menyuarakan sumpah dan ratapan getarkan rasa
Ia sadar jika mereka yang telah pergi takkan kembali merengkuhnya
Mereka yang telah mati tak mungkin hidup kembali menggengam ia
Maka bagi jiwanya yang terluka, bantulah ia rapalkan doa
Dengan izin Tuhan yang ia berlindung dibawah naungan-Nya
Sesuatu nan menyakitkan itu biarlah tertutup dari raga lalu jiwanya
Biarkan ia tak melihat, mendengar, dan merasakan apa yang membuat ia jejal nan lara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H