Mohon tunggu...
Panji Saputra
Panji Saputra Mohon Tunggu... Freelancer - Makelar Kopi

Sunyi bukan berarti mati

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Into the Wild, Usaha Pencarian Eksistensial Manusia yang Berujung Sia-sia

29 November 2021   01:04 Diperbarui: 29 November 2021   01:14 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebih dari Cinta, Uang, Keyakinan, Ketenaran dan Keadilan, berikan aku kebenaran.  "Christoper MacCandless"

Di tengah hutan liar Alaska, Alexander sih petualang super terkapar sekarat pada sebuah bus magic yang menjadi tempat terakhir petualangannya dalam menemukan sebuah eksistensial manusia agar terhindar dari absurditas hidup, meski pencariannya itu berujung sia-sia. Pada penghujung hayatnya, dan alam sama tidak peduli, dan absurditas itu makin nyata di depan batang hidungnya. Seketika saja mitos Sisifus yang Camus ceritakan menjadi nyata dalam tubuh Alexander.

Into the Wild adalah film biografi yang diangkat dari catatan harian seorang anak muda yang idealis, maniak buku, berjiwa bebas, dan senang berpetualang, Chris McCandiess. Ia sering menyebut dirinya dengan sebutan Alexander Supertramp (Petualang Super). Salah satu film drama asal paman Sum yang sedikit drama, sarat akan kritik terhadap realitas. 

Film ini meski terbilang film lama, karena rilis pada tanggal 21 September 2007 di Amerika Serikat, akan tetapi, film yang diadopsi dari buku catatan dengan judul yang sama, karya Jon Krakauer, yang disutradarai oleh Sean Penn sekalipun juga sebagai salah satu produser. 

Sebelumnya, film ini ditayangkan secara perdana pada sebuah Festival Film Telluride pada tanggal 1 September 2007, dan meskipun sebelumnya perna menempati posisi ke-33 di Box Office, yang selanjutnya pada pembukaan akhir pekan secara luas, film ini kemudian melambung jauh pada posisi sebelumnya dan bertengker pada posisi ke-14 di Box Office (lihat: Wikipedia).  

Pengalaman saya dalam menonton film ini, saya semacam menonton kembali seorang demonstran (dalam versi yang tidak jauh beda) yang tidak pernah diam pada penguasa zalim, yang hobi naik gunung, maniak buku juga, suka mengkritik lewat tulisan, dan berjiwa bebas, plus suka nulis puisi. Sampai akhirnya, ia menghembuskan nafas terakhir dalam pangkuan agung Mahameru.

Plot film ini dipresentasikan dalam narasi nonlinier, adegan kilas balik dan adegan masa kini berselang seling antara sisa hidup Christopher/ Chris McCanless (yang diperankan oleh Emile Hirsch) di hutan belantara Alaska dengan perjalanan yang ia tempu selama dua tahun. Dalam ringkasan alur ini diceritakan dengan urut yang lebih kronologis.

Chris lahir dan berkembang dengan lingkungan keluarga yang mapan. Kedua orang tuanya adalah seorang yang jenius, mapan, dan terkenal. Apa saja yang dikehendaki Chris dan adik perempuannya, akan dengan mudah dipenuhi oleh kedua orang tuanya. Akan tetapi pada satu sisi, kedua orang tua Chris tidak akur dan seringkali bertengkar habis-habisan dan secara langsung dihadapan Chris dan adik perempuannya Carine. 

Chris adalah seorang kaka yang sangat sayang pada saudara perempuannya. Ia juga adalah sosok yang sederhana dan tidak terlalu berlebihan dalam hidup. Tidak terjebak dengan segala macam rupa pernak-pernik (symbol) dunia yang penuh kepalsuan dan kepura-puraan. 

Satu dunia yang lahir dari pikiran imajiner yang di(ter)konstruksi oleh kapitalisme atas realitas tanpa menghadirkan realitas itu secara esensial. Satu fenomena sosial yang oleh sosiolog sekaligus filsuf berkebangsaan Prancis, Jean Baudrillard, sebut dengan istilah "simulakra" (lihat: Masyarakat Konsumsi).

Chris seorang yang sederhana dan lebih mementingkan esensi ketimbang citra (yang palsu dan semu) ini tercerminkan dalam sebuah acara wisuda, yang di mana saat nama Chris keluar sebagai mahasiswa dengan lulusan terbaik (Cum Luade), tampak Chris berlari ke atas panggung, basa-basi sedikit (karena tuntutan formalitas), dan segera turun dengan cara sebagaimana ia naik.

Dan saat orang tuanya (selanjutnya disebut ortu) berencana merayakan kelulusan Chris disebuah restoran mewah, dan ingin menghadiahkan Chris mobil baru sebagai rasa bangga kedua ortunya kepada Chris yang lulus dengan hasil yang membanggakan. Akan tetapi Chris menolak pemberian ortunya. Mobil lamanya masih layak, masih berfungsi dengan baik, dan ia tidak perlu mengiakan niat dari kedua ortunya yang ketika berada diluar bertindak sok akur. Chris menyadari sikap kedua ortunya yang penuh kepura-puraan itu. Dan ia tak butuh mobil baru. Ia muak dengan kebahagiaan keluarganya yang terlalu dibuat-buat, dan penuh dengan sandiwara. 

Yang ada dikepalanya adalah mencari kebahagiannya sendiri dengan melakukan petualangan ke hutan Alaska, menghindari hiruk pikuk masyarakat perkotaan dengan budaya konsumerisme yang minim ensensi, dan bagaimana menjalani kehidupan paling purba dalam sejarah manusia. Menjadi manusia bebas, tanpa kartu identitas, ATM, harta, tahta, gelar, dan produk masyarakat lainnya. 

"Untuk bisa tahu betapa penting dalam hidup, bukan untuk menjadi lebih kuat tapi untuk merasa kuat, untuk mengukur kemampuan diri, setidaknya sekali saja, untuk tahu rasanya berada dalam hal paling purba dari sejarah manusia, menghadapi kebutaan dan ketulian sendiri tanpa apapun yang membantumu, kecuali tangan dan kepalamu sendiri." Christoper MacCandless

Usaha Chris dalam menemukan eksistensi hidup inilah yang mendorongnya untuk melakukan petualangan ke hutan Alaska. Bahwa di sana (hutan Alaska), ada kebebasan, dan kebahagiaan yang hakiki. Ini semacam adagium Sartre, bahwa "eksistensi mendahului esensi". Bahwa, satu kesia-siaan dapat mengenal esensi dari kebebasan kalau kita tidak mengalami kebebasan itu secara langsung. Satu pandangan yang kontrans dengan ungkapan Camus yang terkenal dalam Minotaur (1939): "Kalau kita ingin mengenal Dunia, kita harus kita harus menyingkir darinya".

Keberadaan  inilah yang menjadi landasan dan titik pijak dalam filsafat eksistensialisme. Mulai dari Kierkegaard sebagai peletak awal filsafat eksistensialisme, hingga Sartre, dan Camus yang berani menerobos labirin eksistensial manusia yang terselubungi kabut. Dalam pengertian yang lebih umum, bahwa eksistensialisme selalu mengenai pencarian akan hakikat dari keberadaan sesuatu, yang dalam hal ini ialah manusia itu sendiri.

Manusia yang selalu mencari keberadaannya dengan menentukan dirinya melalui kesadaran, ialah pembeda dengan adaan-adaan yang lain. Ia yang ada untuk dirinya sendiri, sehingga ia memiliki kebebasan tak yang berujung dalam mencari dan menentukan dirinya. Sama halnya Sartre yang percaya bahwa keberadaan manusia sama dengan keberadaan alam semesta yang hadir begitu saja tanpa landasan absolut. 

Maka, manusia belum bisa mencapai hakikat asalinya sebelum ia mati. Dan selama ia berada dalam masa-masa mencapainya itu, pencarian tak larut dalam rupa pertanyaan-pertanyaan dengan jawaban yang tak perna menepi. Ia terus bergerak selama manusia meruang dan mewaktu.

Akan tetapi, manusia adalah mahluk yang keras kepala dan selalu menghasrati untuk menjawab dan menjelaskan satu keberadaan yang berada di luar dirinya yang terselubungi kabut. Misalnya saja, Chris yang dalam perjalanannya menuju Alaska, selalu mencobah menjawab permasalahan setiap orang yang ia temui, meskipun ia sendiri sadar bahwa ia masih dalam proses pencarian dari eksistensinya sendiri. 

Yang jawaban itu nanti ia dapati dan sadari di penghujung nafas terakhirnya yang dimana, alam ternyata lebih kejam dan tak perna peduli sama sekali. Bahwa usahanya dalam menemukan kebebasan untuk mencapai kebahagiaan adalah sesuatu yang sia-sia apabila hanya dinikmati sendiri. 

Yang hakikatnya, kebahagiaan hanya akan nyata apabila dibagi-bagi. Meskipun demikian, Chris tetap menerima takdirnya dengan lapang, bahwasanya setiap keputusannya untuk menjadi bebas harus diterima dengan konsekuensi-konsekuensi yang tak bisa dikompromi.

Satu usaha pencarian akan eksistensi manusia yang berakhir sia-sia. Dengan kata lain, kita kembali diperhadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak perna selesai dijawab, bagaimana bisa pencarian berakhir, apabila eksistensi pencarian manusia selalu bergerak mencari dengan akhir yang entah?

"Tetapi, setiap hasrat mendambakan keabadian-keabadian yang sungguh-sungguh mendalam" Nietzche

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun