Untuk tahun 2018 pemerintah menciptakan utang baru sebasar Rp 724.9 atau 38% dari pendapatan sebesar Rp 1894.7 T. Â Ini angka cukup besar dan menjadi kekuatiran Zulhas dan kita semua karena akan mengganggu alokasi kebijakan fiskal untuk sektor produktif dan beban bagi generasi yang akan datang.
Kita bangga dengan bentangan jalan tol di seluruh pelosok negeri tapi kita dengan  kebijakan utang untuk APBN tersebut ternyata : TBD (trade Balance Deficit) melebar dan CAD (Current Account Deficit) mengaga menyebabkan rupiah tidak tahan terhadap gangguan eksternal. Â
Rupiah melemah terus membuat bunga Surat Utang Negara melijit (Ini kebijakan SMI berutang kepada masyarakat dengan bunga tinggi diharapkan CAD terkendali, namun faktanya CAD menganga, bunga surat utang negara melejid supaya laku dijual).
Bunga tinggi di dalam negeri mengurangi investasi para pebisnis dan mengurangi alokasi fiskal untuk sektor produktif menahan laju pertumbuhan ekonomi. Â Diperkirakan pertumbuhan ekonomi kita sampai tahun 2020 hanya berkisar angka 5% dan pengangguran meningkat dari 6.9 juta menjadi 7,5 juta orang.
Dengan demikian yang menjadi kekuatiran Zulhas dan kita semua adalah keberhasilan utang itu sendiri dalam memacu pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesehatan ekonomi.
Menurut saya benar apa yang disampaikan Zulhas sebagai pengingat Presiden tentang meroketnya utang. Â Saran saya SMI jangan mengungkit utang masa lalu, belajarlah menjadi pemimpin yang mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Â
Mega dan SBY tidak pernah mengungkit utang masa lalu, mereka menyelesaikan tanpa berisik seperti era Jokowi ini. Â Faktanya pemerintahan sekarang tidak membayar cicilan pokok dan bunga utang yang dibuatnya, malah ditambah utang untuk pengeluaran APBN. Â Semua itu yang nanggung genarasi yang akan datang. Â Sebaiknya setiap kritik utang dijelaskan dengan baik-baik saja.Â
Masyarakat sedang menunggu karya besar SMI tentang APBN utang yang menggunung untuk kesejahteraan rakyat bisa mendapatkan pekerjaan dan pendapatan bukan dari bantuan sosial dan kartu-kartu.Â
Nizwar Syafaat, Ekonom dan  Pengamat Kebijakan Publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H